Kamis, 06 Februari 2014

Lupakan

Ini kisah yang biasa saja. Tidak penting. Sangat tidak cetar membahana badai tornado tukul arwana sejagat raya. Sangat tidak asik untuk diperhatikan, dibaca, apalagi di like, hanya pantas untuk--kalian jiwa-jiwa tersesat yang tak sengaja mengklik laman ini--langsung di close saja. Plis ini penting. Keburu wajah unyu-unyu polos kalian ternodai dengan kejamnya oleh tulisan ini. Karena ini lebih membahayakan dari sekedar menyebut nama mm... ng.. *nahan nafas*...*nahan kent*ut*... v-v-vo-vol-de-mort *buru-buru lari kayak orang yang habis nyalain mercon*. Ah tentu saja saya bercanda. Haha*gajelas banget idup lo ni. Saya hanya ingin memastikan anda tidak terlalu serius menanggapi tulisan ini. Anggap saja tulisan ini hanya angin. Tak terlihat memang, namun ia terasa. Ah ya tentu saja saya masih berharap ada secebis hati lembut yang mampu mencungkil hikmah disebaliknya (itupun kalo ada XD).

Untuk kesekian kalinya saya sebal sekali dengan hape, wasap, line, facebook, twitter, atau apapunlah itu yang memudahkan orang lain menghubungi saya. Saya sedang tidak ingin diganggu malam ini*eaa sok artis banget lu. Sungguh. Bukan karena sepertinya akan keren jika dicari-cari orang dan karena susah dihubungi maka di-stalking-in orang. Ouch! Sungguh motivasi saya bukan itu. Saya hanya sedang butuh waktu privasi. Butuh waktu menyendiri. Saya mohon biarkan sekali ini saja saya merdeka dari benda menyebalkan ini. Maka akhirnya saya cabut battery hape saya, saya cash. Biarlah dia istirahat barang sejenak. Tak terus menerus menjerit seperti ayam keinjek banteng. Berisik.

Ini adalah malam terhening setatasurya. Tak hanya tiktok jam dinding yang mendadak nyaring, tapi juga suara langkah semut(?), suara degup jantung. Duduk didepan pintu kamar, memeluk lutut, pandangan langsung menjulang ke langit, ditambah kerlingan bintang gemintang disana-sini. Ahay geli sekali saya melihat gaya saya ini sungguh sinetron sekali. Tapi kali ini saya terlalu serius untuk bisa tertawa. Ehem saya sedang serius.

Saya merasa merdeka sekali malam ini. Entah kenapa. Tidak dianggap ada oleh orang-orang disekitar saya tak disangka bisa semenyenangkan ini. Dan untuk pertama kalinya saya sangat bersyukur karena virus narsisme ternyata tidak menjangkiti saya*what?. Saat ini, saya yang marginal ternyata lebih kentara dibandingkan sanguinis saya. Ditengah kerumunan orang, saya ingin menghilang, seperti Jini oh Jini yang tinggal menganggukkan kepala, maka dengan ajaibnya bisa berapparte dan berdisapparte sesuka hati.

Ada kalanya saya merasa teknologi ini terasa begitu memuakkan. Merampas setiap sendi-sendi kemerdekaan saya. Bukan hanya perkara kecanggihan hape yang membuat anak-anak jaman sekarang menjadi semakin anti sosial. Bukan hanya perkara remaja-remaja tanggung yang mendadak begitu mudahnya membuka diri mereka di socmed. Bukan. Ini lebih karena teknologi semakin membuat umm.. -saya terutama-mengalihkan semua hal penting disekeliling saya, membuat saya lupa kebutuhan pokok saya, merampas kemerdekaan saya.

Well coba saya sedikit jelaskan apa yang saya fikirkan. Sadar ga sih? Orang-orang jaman dulu selalu punya tempat untuk bertapa atau semedi atau menyendiri. Kemudian begitu selesai mereka mendadak bijaksana sekali dan berhasil menghasilkan buah karya berupa buku. Atau sebagaimana Rasulullah yang menjadikan gua Hira sebagai tempatnya merenungi kejahiliyahan orang Quraisy, hingga kemudian mukjizat itu sampai lewat Jibril. Coba kalo sekarang? Menyendiri dimanapun kalo bawa gadget sama aja bohong. Bangun tidur ngecek hape, mau berangkat ngampus ngecek hape, dikampus kalo ga ada kerjaan orang-orang pd mainin hape, adzan shalat buru-buru shalat, pas shalat hape bunyi, konsentrasi langsung buyar "siapa ya kira2 yang sms? Jangan-jangan jarkom tugas buat besok, jangan jangan...blabla.". Selesai shalat dzikir seadanya ngecek hape. Astaghfirullah. Mengesalkan!

Bukannya takut disebut gaptek, norak, atau gak gahol sih sebenernya ketika gapunya hape, wasap, line, twitter, fb, lala itu. Tapi ini sudah menjadi kebutuhan primer. Hampir semua informasi kampus dan organisasi ada disitu. Dan taukah? Hampir semua komunitas yang saya ikuti ada grupnya di hape. Grup kampus aja masih terbagi-bagi jadi grup angkatan, grup klompok ini kelompok itu, organisasi ini organisasi itu, kelompok diskusi ini itu, grup alumni sekolah ini itu. Dari mulai kelompok serius sampe kelompok tergak jelas. Beragam tema dari alif hingga ya. Fiuh.*nyusut keringet.

Yang kadang begitu buka hape, tiba2 notif udah ratusan. Ya Allah saya berlindung dari godaan syetan dan juga kesalahfahaman orang. Bukan kok beneran deh. Saya gak berniat menyindir atau saya minta maaf jika ada yang tak berkenan. Karena ya saya juga setuju sekali pake banget bahwa banyak sekali manfaat yang bisa didapat dari mudahnya koneksi disana-sini. Dan sebenarnya dari sini juga saya menyadari bahwa betapa eksisnya saya disana-sini*hasyah. Sekali lagi saya hanya lagi kesal saja. Hiks. Kesal pada hape. Kurang abnormal gimana lagi coba? Duh. Dan sejauh ini solusi yang bisa saya redam dari kekesalan saya ini adalah mematikan semua mua muaaa alat komunikasi yang memudahkan orang menghubungi saya. Saya ingin merdeka malam ini. Pokoknya titik gapake koma! Ah sudahlah lupakan sejenak tentang hape yang saya paksa untuk bungkam. 

Kerlingan canopus membuat jiwa saya serasa terpisah dengan jasadnya. Mengangkasa jauh menembus atmosfir bumi. Detak jantung ini masih mencari jejak. Saya berulang kali memandangi canopus itu. Lalu beralih ke capella. Lalu vega. Saya terlalu sotoy mereka-reka semua yang saya kira, sesotoy saya yang menamai seenak jidat bintang itu canopus itu capella dan itu vega. Aneh. Saya aneh. Ah ya sebaiknya saya tidur dan berharap esok kan lupa. Lalu menghilang seperti mimpi tadi malam.