Senin, 08 Desember 2014

persahabatan dan pohon kersen

Saya seperti hidup ditempat yang salah. Berdiri menjulang tinggi ditengah keramaian. Bukan. Tentu saja keramaian mereka disini bukan karena ada saya. Lebih tepatnya karena rumah berukuran sekitar 4x1 meter disebelah saya inilah penyebabnya. Adalah warung makan trkenal. Disukai mahasiswa dan sepertinya cukup menyenangkan digunakan tak hanya sekedar untuk tempat makan. Kalo bukan karena kemurahan hati pemilik saya, mungkin saya sudah lama ditebangnya seperti gulma dan ilalang yang dulu sekali pernah menjadi tetangga saya.

Telah lama saya ditakdirkan menjadi pohon kersen. Pohon yang seharusnya menjadi tempat favorit anak-anak memanjat, berebut memetik buahnya yang memerah ranum. Pohon yang mengajarkan mengenai berbagi dan mengenai persahabatan tentu saja. Yang seharusnya tak ada satu dahan pun yang luput dari tungkai tungkai kecil mereka. Tapi disini sekali lagi saya seperti tumbuh ditempat yang salah. Sepi. Bahkan kersen yang telah ranum itu berjatuhan begitu saja setelah matangnya. Tak ada yang mau repot2 memetiknya walaupun saya telah menumbuhkan buah saya sedekat mungkin dalam gapaian jemari mereka. Tak ada.

Satu satunya tugas saya disini adalah menaungi motor2 pengunjung warung makan dari panas ataupun hujan. Itupun yang mereka ucapi terimakasih hanyalah petugas parkir yang siang dan malam ikut berteduh dibawah saya sembari tak lupa menyodorkan selembar uang bergambar seseorang mendekap pedang. Ah sial. Mereka anggap apa saya? Pohon? Iyasih. Hiks.

Manusia-manusia itu datang dan pergi hilir mudik silih berganti. Ada yang berdua berpasangan yang menghabiskan malam mereka dengan sesuatu yang mereka namakan kencan. Ada pula rombongan mahasiswa yang bersepakat mengerjakan tugas sambil mengisi perut mereka yang sedari pagi memekik kelaparan. Atau hanya kumpulan mahasiswa rantau yang menjadikan tempat mkan itu sebagai tempat mereka mengobrol dari mulai harga cabe sampe rencana naek gunung.

Sampai saya hafal rombongan mahasiswa itu. Mereka selalu datang ramai-ramai seperti konvoi dengan 3 sampai 4 motor berboncengan. Yang khas adalah plat nomor mereka yang seragam--yang tukang parkir itu sebut-sebut sebagai motor berplat Z. Baru saja mereka sibuk berhaha-hihi dalam antrean kasir, tukang parkir itu telah sigap segera mengeluarkan motor-motor mereka bahkan tanpa mereka tunjukan yang mana motor mereka. Lalu saya? Ah saya tentu saja tak secerdas itu menghafal rombogan demi rombongan yang berkunjung. Ada sekitar seratusan orang yang hilir mudik disini setiap harinya. Namun mereka untuk kali pertama berhasil mengalihkan minat saya memandangi bulan malam itu, bahkan ajakan tarian angin pun saya abaikan, bahkan rerintik air itu saya biarkan jatuh  begitu saja tanpa sempat saya tahan.

Syahdan disuatu malam yang bermandi cahaya bulan, seorang gadis berjilbab ungu duduk termangu di meja nomer 16. Keberadaannya menyadarkan saya bahwa malam itu bukan saya satu-satunya yang sendiri. Sementara meja lain disebrangnya diisi dengan pasangan sejoli atau rombongan-rombongan lain. Gadis itu mulai gelisah. Ia mulai memeriksa hapenya dan sesekali lututnya bergerak-gerak ritmis seolah dengan gerakannya itu jarum jam dapat bergerak lebih cepat. Entah sudah berapa lama ia duduk disana.

Ia kemudian merogoh tas, dikeluarkannya sesuatu seperti buku. Lalu ia membacanya. Syahdu. Kegelisahan yang meronta sejak beberapa belas menit lalu akhirnya teredam sudah.

Pesanan si gadis akhirnya datang. Ia seketika menghentikan aktivitasnya dan tanpa pikir panjang segera makan dengan lahap. Raut mukanya tampak murung. Ekspresinya tetap tak berubah hingga makanannya habis.

Tak lama muncul 3 rombongan motor menderum dari kejauhan. Berhenti dibawah saya. Dan seketika rumah makan yang semula sepi akibat rerintik hujan malam itu kini menjadi ramai. Rupanya rombongan itu adalah kawan-kawan si gadis jilbab ungu itu.

"ih deyni tos emam?" salah seorang dari mereka berseru menahan kesal,
"lapar." si ungu menimpali dengan wajah merengut.

Hanya itu yang bisa saya tangkap dari percakapan mereka. Selebihnya saya sama sekali tak familiar dengan bahasa mereka, adalah bahasa yang tak sama dengan yang digunakan tukang parkir atau manusia-manusia lain kebanyakan. Itulah "pembeda" mereka yang akan membuat saya ingat. Ada sekitar 6 hingga 7 orang yang duduk mengelilingi meja dalam lingkaran bersama gadis ungu itu, dan semuanya menggunakan bahasa yang sama. Bahasa entah apa.

Sayup-sayup saya kemudian mendengar ucapan selamat ulangtahun dari mereka silih berganti. Ajaibnya si gadis ungu itu seketika sumringah, seolah baru saja ia dimantrai oleh kawan-kawannya. Apalagi begitu ia mendapatkan bingkisan dan secarik surat. Berjingkrak-jingkrak kegirangan.



Awalnya ia buka suratnya dan ia baca isinya. Jika saya tak salah liat, mata gadis itu mulai berkaca-kaca. Tak lama kesumringahannya bertambah-tambah saat membuka kado dari kawan-kawannya, sebuah switer berwarna hijau stabilo dan jilbab yang sewarna dengan rambut saya ummm-daun, begitu biasa orang-orang memanggilnya.

Begitulah kemudian mereka berhaha-hihi dengan kerasnya. Seolah kemuraman yang semula menyelimuti malam menguap bersama air hujan diganti keceriaan harum bunga tujuh rupa*apasih.

 Hingga kemudian tiba-tiba salah satu dari mereka menjerit lalu berlari-lari seolah dikejar sesuatu. Serangga terbang.

"Cucunguk....!!!" jerit gadis berkacamata.

dan yang lain ikut sibuk berlarian kesana kemari. Satu-satunya lelaki dirombongan itu hanya duduk kalem dan memperhatikan kehebohan wanita-wanita yang menjerit-jerit. Sesekali ia menunduk kalem ketika serangga itu terbang.

"Tenang! Ku deyni ditewak. Kalem!" Si gadis ungu berseru sembari mengelus-elus dada dan mengatur jalan nafasnya. Gayanya seperti ultra man yang hendak menyelamatkan dunia dari monster laba-laba. Gemetar ia menjulurkan tangannya pada seonggok...--ah ternyata sumber keributan itu adalah kecoa. Dasar wanita!

Plok! Tanpa babibu to the point dan tanpa banyak gaya, kecoak itu berhasil ditangkap dengan tangan kosong oleh gadis berambut ekor kuda. Sungguh perkasa. Andai adegan itu diabadikan kamera, niscaya akan keren sekali.

Sejak saat itulah saya familiar dengan keberadaan mereka, saya mulai terbiasa dengan bahasa mereka, tau tawa mereka, dan saya mulai paham persahabatan itu apa. Cukup menarik memahami mereka satu persatu

Sampai saya hafal apa saja yang selalu mereka pesan. Si gadis ungu yang ternyata bernama deyni itu selalu memesan loeboem ati ampela beserta sate ususnya, senada dengan si gadis berkacamata bernama rinda teman berboncengannya. Entahlah mereka seperti satu paket. Terkait satu dengan yang lainnya. Bedanya rinda selalu melakukan ritual tetap sebelum menyantap lumpianya, yaitu diolesi kecap berserta sambalnya. Rinda tak banyak bicara. Ia adalah pendengar yang baik. Tapi komentarnya seolah selalu ditunggu banyak orang. Karena ia blak-blakan, memberi kesan bahwa komentarnya adalah dari sejujur-jujur komentar. Ia tak pernah bermaksud memberi nasehat, tapi deyni--si paling berisik dalam kawanan Z-nya itu-mampu tertegun hanya dengan satu kalimatnya. "gak apa-apa dey. Biasa aja."

Rinda tak banyak mengeluh. Kegalauannya ia simpan rapat-rapat. Namun pernah disuatu hari saya mendapati rinda terdiam diajak bicara oleh seorang lelaki berambut ikal bernama dimar. Saya dengar dimar meminta maaf pada rinda-kalimat yang sepertinya jarang ia ucap.

Dimar malam itu mengenakan kemeja lengan pendek dan sarung. Tumben. Baru kali ini saya melihat penampilannya rapi jali bagai habis sunatan. Dan rupanya saya bukan satu-satunya yang terbelalak malam itu. Deyni juga tampak terkesiap sepersekian detik lalu tertawa terpingkal-pingkal berdetik-detik melihat kawannya seperti habis jumatan di malam rabu. Dimar lalu duduk berhadapan dengan Rinda dimeja nomer 8. Tak lupa sebelum berbicara ia berdehem. Berfikir seolah mengulang rekam kata-kata yang dihafalkannya. Persis seperti orang yang hendak melamar. Saya pun ikut terpingkal dibuatnya.

Padahal yang saya tahu dimar adalah lelaki yang paling cuek dalam kawanan Z-nya itu. Pernah saat dia selesai makan dan hendak pulang dihampiri oleh salah satu pegawai sampai 2kali berturut-turut. Pegawai pertama mengantarkan kuncinya yang tertinggal, pegawai selanjutnya mengantarkan hapenya yang juga ketinggalan. Lihatlah, alangkah cueknya manusia satu ini. Maka adalah peristiwa langka ketika ia begitu mempersiapkan diri untuk peristiwa malam itu. Berpakaian sopan pun rapi, bahkan sebelum pertemuan ia solat dulu betul-betul. Bahkan saya sudah mempersiapkan diri jiga tiba-tiba ada hujan dor dar halilintar malam ini karenanya. *plak.

"Rinda... sorry heueuh?" begitu ucapnya dimalam itu sembari cengar cengir dan tak lupa garuk-garuk.

Beberapa menit kemudian suasana cair lagi. Deyni, dimar, rinda, mereka bertiga tertawa lagi dalam satu meja. Dari yang saya dengar, harusnya ada seseorang lagi yang datang malam itu, namun ia masih dalam perjalanan dari cirebon. Namanya Robbii.

Robbii adalah lelaki satu-satunya yang kalem diserang kecoak terbang dimalam perayaan ulang tahun deyni. Entahlah malam itu mukanya ditekuk dalam-dalam. Rupanya ia sedang marah. Begitulah dia. Aneh. Cara marahnya adalah dengan diam. Membuat orang lain bingung harus berbuat apa. Pesanan favoritnya adalah loeboem sosis atau loeboem bakso dan minumnya air putih dengan tak lupa sambalnya ia campur kecap. Terkadang jika bosan menunggu pesanan ia memesan eskrim coklat. Pernah disuatu malam, di meja nomer 6 dia bercerita mengenai pengalaman luar biasa kepada teman-temannya.

Ia ketika itu tengah kanker. Alias kantong kering. Sementara kiriman dari orang tuanya tidak dalam waktu dekat. Kemudian ia teringat ilmu tentang sedekah yang ia dapat dari ustad favoritnya-ust. Yusuf Mansur. Uangnya tinggal selembar lagi. Rp. 50.000,-. Dengan uang itulah nyawanya harus tersambung dalam beberapa hari kedepan. Namun bismillah. Dengan tekad kuat dan yakin akan pertolongan Allah, ia sedekahkan uang itu. Ajaib. Uangnya berlipat 10 kali lipat. "Masya Allah" tiba-tiba ada seseorang yang Allah gerakkan untuk meminta bantuannya menerjemahkan sesuatu. Tak henti ia mengucap syukur. Dan kawan-kawannya yang mendengarkan ikut hanyut dalam ceritanya.

Robbii juga seolah seperti leader dari kawanan Z-nya itu. Pernah disuatu malam dialah yang memimpin rapat rencana naik gunung. Dia juga yang paling sabar mengoreksi, menjadi pendengar dan mendamaikan kawan-kawannya.

"Zaenudin..." robbii mengoreksi kalimat deyni entah yang keberapa kalinya saat itu. Sementara si deyni masih nyerocos bersemangat menceritakan film 'tenggelamnya kapal Van der Witjck' pada kawanan Z-nya.
"maafkan hayati engku Zaenal."
"Zaenudin deyni."
begitu seterusnya sampai ladang gandum dihujani meteor coklat fan jadi Koko Krunch.

Ah ya, Robbii juga yang paling khawatir berusaha memantau dari jauh dimalam saat dimar dipertemukan dengan rinda pasca marahannya mereka yang menggemparkan seluruh jagat alam raya semesta cetar membahana