Senin, 09 Februari 2015

nyampah dulu sebelum ultah

Suatu hari nanti, akan tiba saatnya dimana tema yang paling seksi setata surya akan mengusik hari-harimu. Semua orang disekitarmu entah kenapa begitu tertarik membicarakannya, menanyakannya, dan membahasnya. Ini bukan tentang IPK, tapi ini tak lain dan tak bukan adalah tentang: jodoh.

Hingga sim salabim alaihim gambreng tetiba masa masa itu nyata nyata kini telah tiba dan tema yang lagi aduhai itu mulai menginfeksi saya. *Oh tidak marisol.

Dulu sekali ketika mainan termewah adalah tamagochi, saya selalu membayangkan mbak mbak kuliahan itu adalah sedewasa-dewasanya seorang wanita. Tapi sekarang ketika bahkan usia saya telah melewati usia itu saya merasa umm... ng... *kening mengkerut sambil garuk2. Nggak juga.

Ah saya seperti diseret untuk menjadi dewasa oleh keadaan.

Bayangkan! *Sudah dibayangin belum? Pagi-pagi di grup manapun yang saya ikuti sudah ada yang ngepost tentang parenting, "dahsyatnya kekuatan pelukan ayah dan ibu pada anak." "35 kesalahan orang tua dalam mendidik anak." "mendidik anak supaya cinta AlQuran." blablabla
 Sampai dikampus lalu ngobrol temanya adalah "eh gila bagus banget souvenir dinikahannya si A."  "gue mau pake kebaya warna merah sama gold." "hah? Dia udah hamil ya? Masya Allah." "si A mau nikah bulan ini? Masa?" blablablabla....
Lalu sore hari makan bareng temen ngaji temanya agak malu malu sih tapi intinya "kapan nyebar undangan?" "karena ikhwan itu tak selebar UGM doang.", "iya baiknya sih yang sevisi dan semisi." "lu udah ngumpulin proposal belum?" blablabla....
kemudian malam pun datang dan ngumpul bareng anak tasik topiknya "doain ya semoga cepet", "gue fokus skripsi dulu deh baru lamar doi." "kayaknya saya mah nyari orang sunda lagi aja dah biar saling memahami." "kalo kamu suka dia, cewe mengungkapkan duluan gak salah kok," atau "lu udah gak sama dia? Idih PHP banget sih lu." "lu mau menunggu sampai kapan?" blablabla....
Tak hanya sampai disitu, saya kemudian pulang kost nyalain tivi acara kick andy lalu lalu lalu *lelaki berkepala plontos bernama andi ngomong "jadi anda menikah di usia 34 tahun? Dan suami anda terpaut usia lebih muda 2 tahun?" "apakah film yang sedang digarap oleh anda terinspirasi dari kisah kehidupan anda?" (film yang lagi di bedah judulnya "kapan kawin?") blablablabla.... *Kemudian pingsan.

Semua orang seolah kompak membicarakan itu. Bahkan orang rumah. Adik saya misalnya "teteh ulang tahunnya dikadoin doa aja ya. Doa semoga cepat dapat jodoh.",
yang ngeselin adik laki laki saya "teteh mah gak gaul kali ya? Jomblo terus sih gimana mau nikah." *KAMEHA MEHAAAA....

Lalu mamah yang ngedadak nyeritain masa mudanya sama papah, "dulu mamah gak pacaran dulu sama papah, ngedadak dilamar tapi habis nikah ditinggal tugas kerja ke padang."
Yang lucu tuh papah, saya nanya tentang berapa lama pendidikan polisi aja sinyal papah langsung on, "kamu mau sama polisi?" *egubrak.

Wajar kan kalau kemudian pada akhirnya saya jadi kepikiran? Ya emang seharusnya sih. Masalahnya adalah bagaimana cara kita menyikapinya.

Hmmm saya khawatir jika topik perbincangan lingkungan sekitar saya yang itu itu saja membuat saya berfikir sempit tentang menikah. Yang terfikir hanyalah senengnya aja. Tiap hari berbunga bunga warna warni dan haha hihi. Nikah itu gak sesempit film india yang susah senang joged dan nyanyi, bro. Lu kira drama korea yang isinya comedy romantis kayak rumah tangganya han ji eun sama lee young jae di Full house yang ceritanya bangun-ngepel-makan-berantem-baikan-maen kerumah mertua-cemburu sama mantan-berantem-makan-tidur-bangun-the end..? Yakali mereka mah hidupnya cuma 20 episode, bro. Apalagi sinetron indonesia sejenis GGS. Duh duh duh. *kemudian-baca-yasin

Saya sempat gelisah mengkhawatirkan kesempitan cara fikir saya ini. Hingga kemudian saya mengerti bahwa saya hanya butuh kacamata baru.

Saya lalu diskusi dengan beberapa orang, tapi yang membuat saya lama tertegun adalah ketika diskusi dengan bibi saya.
Jadi awalnya saya ditanya tentang "udah ada rencana kapan nikah?" (udah gak aneh lah ditanya beginian hehe). Lalu saya mengatakan target saya. Bibi mendukung penuh dan memberi nasehat dan pengalamannya. Tentang 3 hal yang harus diperhatikan ketika menikah: 1. Agama 2. Pendidikan 3. Keluarga. Diskusi kita cukup mendetail mengenai itu. Dan sangat out of the box. Mengena sekali bagi saya yang hanya faham sekedar teori, karena yang dibahas benar benar membedah contoh real kehidupan rumah tangga disekeliling.

Mengenai dampak kalau pendidikan timpang, yang perempuan lebih tinggi pendidikannya akan menyebabkan perbedaan pola fikir dan yang lebih fatal si perempuan jadi meremehkan suaminya dan blablabla. Lalu keluarga. Yang jangan trlalu jauh kaya atau miskinnya, yang biasa biasa saja karena blablabla. Tapi ujung-ujungnya dikaitkan dengan agama. Kerenlah pokoknya. Benar benar memahamkan saya mengenai hal yang sudah saya baca dan dengar berkali kali ini menjadi lebih simpel dan mudah dicerna.

Kemudian berlanjut ditanya ke kalimat sakral berikutnya "kapan sumpahan?" lalu "mau diterusin kemana habis lulus?" Dan saya nyata-nyata agak stres gitu akhir akhir ini ditanya masalah kampus. Bibi lalu bercerita mengenai tekadnya dulu ketika seusia saya adalah:
"sebelum nikah, bibi pengen bapak sama emak bahagia. Di mata bibi kebahagiaan bapak kalo bibi mampu memanfaatkan ilmu bibi. Bapak terlihat bahagia saat bibi udah kerja. Minimal bibi mampu menghidupi sendiri..."
"..."
"tapi jangan lupa ya dek, ukuran kebahagiaan setiap orang tua itu beda-beda. Kita bisa tau apa yang paling membuat orang tua bahagia tanpa bertanya."
"cara tau nya?"
"dari percakapan sehari-hari akan tersirat."
Lama saya tertegun.

"mamah sama papah seringnya nanya kapan deyni selesai koas sih dan selalu nyuruh deyni cepet lulus."
"oke."

Lalu saya ceritakan kendala saya dan hal yang membuat saya merasa underpressure akhir akhir ini.
Saya : "kadang mamah sama papah nganggap deyni kayak anak kecil sih. Nah kalo bibi ngeliatnya deyni udah siap belum kalo nikah?"
Bibi: "belum. Hehe."
Saya tertohok. Hehe. Tapi sesuai prediksi sih.

"tuh kan. kenapa?" tanya saya lalu pasang emot sedih.
"kalo deyni masih stres ditanya kapan lulus atau ditanya udah sampai mana kuliah, brarti blm siap. Karena kuliah itu hanya sepersekian stres nya kalo udah berkeluarga...
Masih satu badan, satu jiwa. Kalau udah berkeluarga mah 2 badan 2 jiwa. Harus menjadi satu. Hidup itu harus punya target. Kalo target menjadi beban ya hasilnya stres. Bahkan bisa menjadi putus asa. Dan tau kan putus asa itu dosa?"
"..."
"saran dari bibi. Selesein kuliah. Baru buat plan baru. Intinya jangan terbebani. Jalani aja. Mudah-mudahan saat lulus jodoh datang. Aamiin."
Lalu bibi juga menambahkan, "ga perlu menunda planing menikah, dek. Kalau bisa terkejar baik lulus ataupun menikah lebih hebat."

Diskusi singkat itu cukup membuat saya terhenyak. Kayak digablok tau ga? Hiks. Saya bahkan belum lolos mengelola hal sesederhana ini. Cara mengelola tekanan. Ah betapa saya hanya tau teori...

Ibadah.
Kuncinya adalah kedekatan dengan Allah. Ya, sekarang saya mengerti tentang kenapa sebelum saatnya "itu" tiba, iman kita harus betul betul lagi on fire. Betul-betul interaksi dengan Allah lagi dalam keadaan sebaik-baiknya, betul betul dipuncak puncaknya. Alasannya bukan hanya karena "laki laki yang baik untuk wanita yang baik.", dan lucunya temen saya bilang "kalo alasannya karena ini maka saya ibadahnya biasa aja deh soalnya saya mau nyari pasangan yang biasa aja gak usah tinggi tinggi agamanya, jangan yang saklek banget lah, yang biasa aja.", nah loh pan berabe. Mau jawab apa hayo?

Alasannya ternyata adalah karena kedekatan dengan Allah membuahkan ketenangan hati. Dan ketenangan hati membuat kita bisa lebih mudah mengelola gejolak dari luar. Cukuplah Allah sebagai sebaik baik pelindung dan penolong. Karena jika sudah merasakan kehadiran Allah dalam hati, maka hati rasanya akan mencelos. Kayak wajan panas yang disiram aer. "ceos." adem. Panas diluar gak apa apa wajar, tapi didalem tetep adem.
Ketika kemudian Allah menggerakkan seseorang untuk datang menggenapkan separuh agama kita, maka kebaikan maupun kekurangannya akan dengan mudah kita sikapi dengan hati adem karena yakin pasti ini hadiah dari Allah hingga yang tersisa hanyalah rasa syukur. Alhamdulillah...

Iya benar, ini tentang kesiapan mengahadapi masalah. Ah saya terlalu cerewet untuk menemukan alasan dari hal sesederhana ini.

"lebih baik menangis kelelahan saat latihan daripada harus berdarah darah dimedan perang!" kakak kelas saya pernah bilang. Jadi ayo semangat perbaiki diri!!

Ya Allah... TanpaMu, butalah aku...

*******

Yaampun ternyata saya dewasa sekali. hiks. Ini bukan saya.

4 komentar: