Rabu, 16 April 2014

gadis pengigau

Tergopoh-gopoh ia berlari memburu lift yang baru saja terbuka. Namun terlambat, lift sudah terlanjur menutup. Ia pun harus menunggu. Tas punggungnyalah yang membuatnya lamban berlari, terlebih ada setumpuk kertas laporan setebal kamus yang ia peluk kuat-kuat khawatir jatuh terserimpet berceceran. Setelah bunyi 'ting', pintu lift pun akhirnya menggeser juga. Ia pun masuk. Perjalanan dari lantai 3 kelantai 1 serasa sedetik. Entahlah, ia merasa akhir2 ini waktu berlari begitu cepatnya.

Ia ingin sekali segera sampai di kamar kostnya yang hangat. Merebahkan diri. Melemaskan otot-otot punggungnya. Seharian tadi benar-benar berhasil merontokkan betisnya. Perjalanan pulang ia habiskan sembari melamun, kadang bernyanyi pelan, dan kadang menatap langit yang mulai menguning. Ya, setiap hari ia jalan pulang pergi kampus kostan. Hanya perlu berjalan 15 menit memang, tapi lagi lagi itu membuatnya kewalahan mengorek sisa tenaga.

'Kenapa ya? Jangan-jangan aku kurang darah' gumamnya. Akhir-akhir ini mudah sekali ia kelelahan. Sekujur tulang dan ototnya berasa hancur semua. Ditambah lagi sapaan rutin ibu kost setiap kali dia sampai kost selalu sama, "capek ya mbak? Lesu banget." semakim meyakinkannya bahwa sepertinya ada yang tak beres dalam dirinya.


Tak disangka, hilang motor berasa ilang pacar, pikirnya, kayak yang pernah pnya pacar aja. Suatu nikmat memang akan lebih terasa jika kenikmatan itu hilang*tsah. Ya, sebulan lalu gadis beralis tebal itu baru saja kehilangan motor kesayangannya. Motor yang sudah 5 tahun setia ia mandikan, ia kasih makan, mengantar jemputnya kemanapun dia mau. Susah senang bersama. Sukacita dengannya. Nangis bersama tertawa pun bersama. Dan kini ia telah tiada entah kemana. Teganya. Hiks.

Mending hilang karena dijual. Ini dicuri orang. Entah siapa yang tega berbuat demikian pada gadis polos nan ceria itu*halah. Kini ia harus membiasakan berjalan kaki. Sejauh apapun itu. Kekampus sendiri, kewarung sendiri, ke laundryan sendiri, makan sendiri, jalan-jalan sendiri, tidur sendiri, semua serba sendiri. Terlebih lagi yang lebih menyedihkan, setiap dia pulang mudik tak ada lagi yang berlari ceria menyambut kepulangannya *lah emang?

Meskipun berat, ia sekarang sudah mulai menerima kepergian motornya. Ia hanya bisa berdoa, semoga pelaku suatu saat akan sadar dan sehabis bulan puasa ia bertobat dan mengembalikan motor itu pada yang berwajib (?), dan kalo tidak maka akan dikutuk jadi tutup termos. Aamiin. Semoga arwahnya diterima disisi-Nya*iniapasih.

Lama-lama terkurung disekitar kostnya ternyata membuat gadis berjilbab yang-untuk selanjutnya kita sebut saja Dini-ini agak suntuk. Bosan saja melihat hiruk pikuk sekitar kostnya yang itu-itu saja. Orang yang itu-itu saja, terlebih akses warung makan yang itu itu saja. Sepulang dari ingar bingar kampus yang membuat tingkat stressnya tinggi, hanya bisa ia luapkan dikamar ukuran 3x4. Disitu saja. Kalau tidak tidur, paling pelariannya hanya nonton tivi. Membuatnya serasa ingin berlari sejauh-jauhnya dari jogja-kota tempat kuliahnya-untuk kali ini saja. Atau siapalah yang bisa mengajaknya menghilang sejenak. Ia hanya butuh teman bicara sepulang kuliah. Sekedar menceritakan hari-harinya yang itu itu aja dikampus. Menangani pasien, digosipin temen, dimarahi dosen, diPHPin pasien. Sesederhana itu. Maka hilang semua penatnya. Ia hanya butuh telinga. Itu saja. Itulah kenapa kini ia mendadak benar-benar merindukan motornya. Karena biasanya juga motornyalah yang selalu setia mendengar ceritanya. Kurang abnormal apalagi coba dia?

Kekalutan yang seringnya ia tumpuk dipikiran tak dipungkiri lama-lama membuat kepalanya sesak. Ya tentu saja ia punya teman. Banyak malah. Hanya saja, mereka juga sepertinya memiliki urusannya sendiri-sendiri. Memiliki cerita sendiri, memiliki kepenatannya sendiri. Teman-temannya juga sering mengajaknya makan malam. Menghabiskan malam dengan tertawa bersama teman tentu hal yang sangat diandalkan ketika kepenatan itu datang. Tapi sialnya dini selalu merepotkan temannya untuk meminta jemput. Itulah yang membuatnya sungkan mengajak makan jika tak diajak.

Teman-temannya mengenal dini sebagai anak yang ceria, humoris tinggi, pandai membuat orang lain tertawa. Sementara sisi lain pikirannya ia tutup rapat-rapat, entah pada siapa ia muntahkan. Lucu saja rasanya jika tak ada angin tak ada hujan tiba2 ia mendatangi kawan dan menangis sejadi-jadinya. Tanpa sebab. Yang bahkan jika dini ditanya kenapa pun ia tak tau harus menjawab apa. Ia hanya ingin menangis. Ia lelah. Itu saja yang ia tau.

Kini yang ada difikirannua hanya pulang. Pulang ke kota asalnya. Berkumpul bersama ayah,ibu, dan kakak adiknya. Memang bukan dalam rangka curhat sih, hanya ingin bertemu mereka saja. Setidaknya didepan mereka ia tak perlu pura-pura tegar. Itu saja.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar