Kamis, 24 Mei 2012

Terpekur

Entah berapa juta prosa atau puisi atau bait syair yg dibuat para pujangga dengan menggunakan sebuah kata ajaib bernama hati.

Ada mutiara hati, cahaya hati, bintang hati, managemen hati, mata hati, kata hati, heart (saya bingung heart itu sebenarnya hati atau jantung), dan cinta dalam hati *plak. Oh tenang! Saya tak akan menyoal kata cinta disini, sya akan fokus pada hati.

Kalo kata Habiburrahman El Shirazy di Bumi Cintanya mengatakan bahwa hati itu mesin ajaib yang menyelamatkan segenap tubuh kita dr berbagai racun yang masih dlm tubuh.
Kalo kata Rangga di Ada Apa Dengan Cinta,hati itu ditinggalkan untuk dicaci. Yah terkadang hati ada untuk dicaci.

Bukankah para pemimpin itu yang sibuk merenovasi istana mereka sementara rakyatnya tercekik dg harga kebutuhan pokok itu dipertanyakan kemanakah hatinya?
Bukankah hati nurani selalu menjadi senjata para calon2 dalam kampanye?
Bukankah kaum feminis yang melawan kodratnya itu mengatasnamakan HAM (hubungannya dg hati?)*nurustunjung kalo basa sundanya.
Bukankah Bu Diono yg alih2 sibuk memikirkan tugas suci kenegaraan malah sibuk mengurusi suara adzan sempat berfikir berapa hati yg tersakiti karenanya?
Bukankah? Bukankah? Bukankah dg kesotoyan saya ini dipertanyakan apakah saat ini saya menulis dg hati? Nah itu dia...Umm..eng..intinya saya mau curhat sih bahwa saya bersyukur akhirnya sya tersadar kalo sya msh pny hati *loh. Ya saya memang payah bikin prolog.*garuk2tanah.

Tahukah?Betapa hati dapat mengganti seluruh indera yg kita miliki.
Sepertinya itulah sebabnya Allah menciptakan kita mula-mula dari segumpal daging bernama hati.
Akan terasa indah jika semua indera bekerja dibersamai oleh hati.
Melihat dengan hati dapat menembus cakrawala dan menyingkap apa-apa yang sebelumnya tak terlihat.
Meraba dengan hati akan lebih terasa lembutnya permadani meski jarang dicuci.
Menghirup udara pagi dengan hati memicu ketenangan dan menjernihkan fikiran.

Seperti kisah nyata seorang hakim bijaksana yang terpaksa menyidang seorang nenek yang mencuri 'sesikat' pisang (apalah saya gtau basa indonesianya sesikat apa *hasyah) dari kebun milik sebuah perusahaan karena cucunya merengek kelaparan.
Hukum mengharuskan si hakim menjatuhkan hukuman denda sebesar sekian juta rupiah pada si nenek. Dengan penuh rasa iba akhirnya si hakim menutup sidangnya dengan membuka topi hakimnya dan menaruh uang 1 juta dari kantongnya untuk diserahkan pada si nenek.
Terakhir ia berkata pada hadirin sidang bahwa "saya juga ingin menghukum kalian yang membiarkan si nenek kelaparan hingga harus mencuri pisang." Dan hadirin pun ikut berinfak pada si nenek. Subhanallah.

Bukankah hati nurani sang hakim mampu menembus tembok hukum yang durjana pada kaum papa? Ah si hati ini ada tapi hanya beberapa saja yang menyadari keberadaannya.
"Lakukan dengan hati,dey." Ujar seorang teman di suatu siang ketika saya hendak menyuntiknya. Kalimat itu menyentak.
Dia benar. Bukankah saya masih punya hati?
Ah si hati ini ada bukan untuk di caci. Tapi untuk dihayati.:).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar