Jumat, 26 September 2014

mengumpulkan jejak yang terserak

"Hallo. Nama saya Rini dan cita cita saya ingin jadi insinyur peternakan seperti bibi saya."

Baru saja saya dapat quote yg keren banget. Katanya ketika kita lelah, maka lihatlah kebelakang, lihat sudah sejauh mana kita melangkah.
Pertanyaannya. Jadi saya sudah lelahkah? Ya. Saya tengah mati matian menahan tangis. *pelukboneka. *yaiks. Wkwkwkk.

Saya ingin memanggil memori saya satu persatu dalam pencapaian cita cita saya hingga sampai disini. Betapa 7tahun lalu tak pernah terbayang sedikitpun saya akan jadi dokter gigi. Tak pernah. Biarlah tulisan ini sebagai penyemangat. Sukur sukur bisa menginspirasi pembaca. Bahwa betapa hidup itu penuh perjuangan, jendral!

Oke mulai dari sebuah diary saya 7 tahun lalu yang mengejutkan saya. Kita lihat. (hiks tolong maklumi kalo bahasanya alay. Itu jaman saya ababil)

......

Diary itu saya tulis 7sept 2007. Haha. Saya memang benci biologi. Benci sekali sampai ubun ubun. Dibanding semua mata pelajaran IPA saya paling benci biologi. Sebaliknya, matematika kimia fisika saya suka sekali, bahkan nilai saya diketiga mata pelajaran itu adalah tertinggi dari semua kelas IPA, tapi hanya ketika ulangan harian. Hahaaaa.

Saya paling suka matematika. Suka sampai ke darah daging pokoknya. Saya selalu akrab dengan guru matematika saya dari orok sampai SMA saking cintanya sama angka. Hahaaa.
(udah. lu dengerin aja deh ya gue lagi narsis. Jangan banyak protes. Lu iyain aja biar cepet kelar ceritanya, wkwkwkw).

Cinta saya pada matematika yang sangat konsisten ternyata tidak berlaku untuk cita cita saya. Setiap ditanya cita2, saya selalu menjawab berubah ubah sesuai kondisi lingkungan dan cuaca saat itu.

Jika dekat dengan bibi saya yang lulusan insinyur peternakan, saya dengan lantang akan menjawab ingin jadi insinyur peternakan ketika ditanya cita2 karena terinspirasi melihat kesuksesan bibi saya yang jadi apoteker di bogor(?) *bingungkanlo.

Pas lagi sayang-sayangnya sama Papah yang lagi baik banget ngasih sepeda baru ketika sepeda saya yang lama sudah tinggal tulang belulang maka dengan lantang cita2 saya adalah ingin jadi polwan. Huehehee...

Begitulah, sejauh ini cita2 yang pernah singgah diotak saya adalah jadi arsitek karena saya suka nonton home sweet home, jadi desainer karena saya suka gambar barbie berganti gaun, jadi wartawan karena tiba2 sy pernah dipuji guru PPKN pas presentasi makalah di SMP, jadi penulis karena waktu SMP dulu lagi booming film eiffel im in love dan tetiba saya berhasil merampungkan 2 novel saya, jadi guru karena dulu pernah dipuji guru pas ngejelasin trigonometri didepan kelas, dan ketika peradaban saya mulai maju saya mulai kepikiran untuk masuk STAN. Hingga cita-cita itu bertahan lama sepanjang masa SMA saya.

Menginjak kelas 3 SMA, saya mulai berfikir rasional dalam mempertimbangkan cita2 saya. Saya suka matematika dan saya mantap masuk STAN akuntansi. Tapi, kendalanya adalah ujian masuk STAN ada diakhir. Setelah SIMAK UI, PBS UGM, UM UGM, dan SNMPTN berlalu baru ujian masuk STAN. Tidak mungkin saya melewatkan serangkaian jalan masuk PTN favorit lain demi menunggu STAN. Bagaimana kalo trnyata saya tak masuk STAN? Walau bagaimanapun saya harus punya PTN pegangan. Begitu fikir saya ketika itu.

Maka, mulailah saya daftar PMDK UI. Ketika itu dipilih 4 calon mahasiswa PMDK yang terbaik disekolahnya untuk masuk UI lewat jalur rapot. Saya lihat rapot saya tidak terlalu buruk ketika itu. Ah ya, syaratnya ketika itu adalah nilai rapotnya naik secara konsisten. Sementara saya? Hahahaaa ngekek jungkir balik. Naik turun bro kayak jalan yg blm diaspal. Garinjul.

Saingan saya di sekolah saya ketika itu ada 4. Yang terjenius di SMA saya ketika itu memilih FK UI, menyusul yang kedua milih Psikologi UI, Teknik Kimia UI, dan yang terakhir milih teknik Industri UI kalo gak salah. Dan saya pilih akuntansi UI. Nilai rapot saya bersaing dengan si TI UI. Beda tipis kata guru BP saya, dan saya tak lolos. Yang lebih keren ke4 teman saya yang daftar PMDK UI lolos ke4nya. Yasudah bukan rezeki saya. Tarik nafas panjang.

Lalu saya beralih ke PMDKnya UGM. PMDK UGM ternyata tak seperti UI. Semua yang merasa nilai rapotnya bagus bisa daftar, namun masih ada tes tulis dan wawancara. Nama PMDK di UGM adalah PBS. Penerimaan Bakat Swadana. Pertanyaannya adalah, saya daftar jurusan apa? Saya ingin sekali daftar akuntansi UGM ketika itu. Tapi konsekuensinya pada tes tulis saya daftar tes IPC (ilmu pengetahuan campuran). Jadi saya harus belajar semua mata pelajaran IPA juga IPS bersamaan. Saya teler.

Lama saya berfikir antara keukeuh daftar akuntansi atau terpaksa memilih jurusan dari jalur IPA. Tak lupa saya libatkan Papah dan Mamah dalam diskusi penentuan masa depan saya*halah. Tak disangka, mamah menginginkan saya jadi dokter.*jeger!!*petir cetar membahana badai tornado.

Begini kalimat mamah ketika itu.
"Dokter gigi we, Ni. Keun we teu kudu dokter umum. Yeuh, mun dokter gigi mah moal aya nu gegedor tengah peuting ngan saukur nyeri huntu. Teu cara dokter umum. Can aya nu jadi dokter dina keturunan urang. Bayangkeun kumaha atohna aki jeung nini di sawah teh cenah 'emh gustiii incu kuring jadi dokter.' kacipta we atohna."

Hati siapa yang tak tersentuh?
Translate:
"Dokter gigi aja, Ni. Gak apa apa ga perlu dokter umum. Kalo dokter gigi kan gak mungkin digedor rumahnya tengah malam hanya karena sakit gigi. Gak kayak dokter umum. Belum ada yang jadi dokter dari keturunan keluarga kita. Bayangkan gimana senengnya kakek sama nenek di sawah, 'Gusti Allah trnyata cucu saya jadi dokter'. Bayangin gimana senengnya mereka."

Kebetulan dari kelas 2 SMA saya pasang behel/braket cekat. Saya sudah sering bolak balik dokter gigi untuk kontrol. Jadi sedikit banyak saya tau kerjanya dokter gigi. Bismillah. Saya pun memilih jurusan pendidikan dokter gigi. Lalu pilihan kedua? Lagi lagi saya galau. Hanya karena suka kimia saya pilih teknik kimia. Maka jadilah saya ikut tes PBS dengan pilihan 1 PDG dan 2 tekim.

Cukup banyak yang ikut tes PBS dari sekolah saya. Tempat tes tulis di jogja. Dan saya berangkat dengan ibu saya berdua. Ibu saya mengajari saya berangkat naik bis budiman. Lalu dari stasiun giwangan naik bis jalur 7 turun di hotel Ishiro jakal km 5. Dihotel saya sudah dipesankan kamar oleh sahabat saya sebutlah namanya Cici. Dia daftar FK UGM. Cici berangkat bersama keluarganya. Ada ibu, kedua kakak lelakinya, beserta kakak iparnya. Kamar mereka tepat disebelah saya. Disebrang saya adalah kamar Kiki dan Pur, laki-laki. Mereka juga daftar FK UGM. Sepertinya dari sekian yang daftar PBS UGM, cukup terhitung jari yang memilih selain FK UGM jurusan pendidikan dokter.

Saya dan ibu baru tiba dipenginapan siang hari. Setelah keliling jakal mendatangi bekas kost mamah saya dulu pas jaman kuliah. Ah ya, ibu saya alumni MIPA UGM. Jurusan fisika. Kata mamah, kalo saya keterima di UGM saya lebih baik kost di bekas kost ibu dulu. Tempatnya memang tua tapi sepi, kondusif untuk belajar. Saya bilang sama ibu kalo saya masih menginginkan STAN.

Sore hari dari rumah ada yang nelepon ibu, ketika itu saya tengah shalat ashar ketika ibu berbicara di telepon. Entah kenapa, ibu saya memekik ketika menerima telepon. Ia menangis sesenggukan menahan jerit. Sontak saja shalat ashar saya jadi tak khusu.

Selesai shalat, ibu cerita kalo kakek meninggal. Innalillahi wainnailaihi rojiun. Saya mematung menyaksikan mamah yang menangis sedemikian pilu. Saya masih ingat, ketika itu jogja tengah diguyur hujan lebat terlihat jelas dari jendela.

"kumaha atuh Ni? Kudu kumaha mamah teh? Lamun teu uih ka tasik da bapak, bapakna mamah sok bayangkeun, pupus. Tapi lamun mamah uih kumaha budak rek ujian asup kuliah." mamah menangis semakin pilu.

Translate: bagaimana ini, Ni? Mamah harus gimana? Kalo mamah gak pulang ke tasik, papa nya mamah bayangin, meninggal. Tapi kalo mamah pulang gimana anak mamah mau ujian masuk kuliah?

Ketika itu saya juga ingin nangis rasanya. Tapi saya harus tegar didepan Mamah supaya mamah percaya kalo saya kuat. Maka bismillah saya jawab.
"Mamah pulang aja ke tasik. Gak apa apa deyni di jogja aja untuk ujian. Disini ada cici, kiki, sama pur. Deyni nanti bareng mereka. Mama jangan khawatir." jawabku sembari tersenyum menguatkan ibu.

Begitulah singkat cerita akhirnya ibu saya pulang duluan ke tasik, meninggalkan saya sendiri di kamar hotel yang luas di tempat asing, jogja.

Kau tau beban mental saya ketika itu? Yang ada difikiran saya ketika itu adalah, ibu saya tidak menemani ayahnya meninggal hanya karena saya. Saya yang mau masuk universitas. Jika karena ini ibu saya harus merelakan saat saat terakhirnya dengan ayahnya, maka paling tidak saya tidak boleh membuat ini sia-sia. Sejak malam itu saya bertekad untuk serius belajar agar masuk UGM kedokteran gigi.

Malam sebelum ujian, cici, kiki, dan pur main keliling jogja entah kemana bersama kakak kakak permatagama (persaudaraan mahasiswa tasikmalaya gadjah mada). Sementara saya? Saya menolak halus dan lebih memilih belajar sendiri di kamar hotel.

Esoknya kami bergegas turun untuk sarapan. Ada kejadian lucu begitu selesai sarapan. Kiki dan Pur pamit ke kamar sebentar untuk mengambil kartu pengenal ujian, namun beberapa saat kemudian mereka kembali dengan tergesa gesa dengan wajah panik. Katanya kunci kamarnya patah, sembari memperlihatkan kuncinya yang patah. Buru2 ibunya cici memanggil petugas hotel untuk membuka pintu kamar. Saya dan cici menunggu dengan panik dibawah sembari sesekali melirik jam. Alhamdulillah kamar bisa trbuka lebih cepat dari yang kami kira. Dan kamipun bergegas untuk berangkat ujian menyongsong masa depan.

Saya ujian di fakultas kehutanan. Dalam sebuah ruangan yang berisi banyak sekali petugas penjaga. Membuat ciut siapa saja yang masuk kedalam ruangan. Jangankan menoleh kanan kiri, untuk bernafas saja rasanya horor sekali ketika itu. Dan bayangkan. Kamu yang SMA mu dari kota kecil yang bahkan untuk lihat dipeta saja harus di zoom dulu. Harus bersaing dengan siswa lain yang pas ujian pake seragam sekolah mereka yang gagah perkasa silau menyilaukan itu. Mereka masing masing duduk di depanmu, belakangmu, dan kanan kirimu. Sumpah deh, itu adalah hari termenegangkan sepanjang sejarah hidup saya melebihi tegangnya menunggu hasil kelulusan UN.

Ada beberapa bundel jenis soal yang dibagikan ketika itu. Seperti biasa, dengan songongnya saya sangat percaya diri ketika mendapatkan bundel matematika. Namun apa yang terjadi? Soal pertama saja nyali saya sudah menciut jadi sebesar upil. Pas bahasa inggris? Alamakjaaannn, jangankan menjawab soal, baca instruksinya saja saya gak ngerti. Beneran deh. Soal PBS bahasa inggris ini lebih sulit dari toefl. Padahal selama kelas 2 dan 3 saya ikut les inggris. Hiks. *galisumur.

Dan begitu bel tanda ujian berakhir, leher saya rasanya rontok semua karena kelamaan menunduk membaca soal dengan jarak sebuku jari dari mata*lebay. Intinya saya betul betul pasrah. Adalah keajaiban dan doa ibu yang membuat saya bisa dinyatakan lolos dari soal soal ganas itu.

Seperti yang tadi diceritakan bahwa saya sendiri dijogja. Maka pulangnya, saya diberi tumpangan gratis naik mobil cici untuk pulang ke tasik. Alhamdulillah senang sekali bisa akrab dengan cici sekeluarga.

Singkat cerita dari semua yang daftar PBS yang keterima dari SMA saya hanya yang daftar Ilmu Gizi, teknik industri, dan saya pendidikan dokter gigi. Masya Allah. Saya langsung sujud syukur. Menangis dipelukan ibu dan nenek. Dan almarhum kakek. Ini untukmu kek. Hiks. :').

Postingan selanjutnya akan saya ceritakan tes wawancara saya yang super duper konyol dan sotoy marotoy.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar