Jumat, 02 November 2012

Sudah beranjak tua T_T

Sudah terlalu sering diri ini mengintimidasi fikiran. Berlayar terlalu jauh. Lalu bias. Entah yang mana lagi yang nyata dan mana yang maya. Padahal ada dikotomi jelas antara yang realitas dan yang imajiner. Misalnya matematika yang katanya adalah ilmu pasti. Dalam matematika memang kita temukan bilangan real. Tapi kenapa masih ada bilangan pencacah atau bilangan cardinal? Dan di matematika memang ga ada bilangan imajiner. Tapi jika kita bermain fungsi matematika, akar min satu kan imajiner? Thats it? Lalu apakabar dengan satu di bagi nol? Kenapa kalkulator manapun yang saya gunakan untuk menghitungnya selalu memberikan hasil hurup E atau gambar cacing tidur yang artinya 'tak hingga'? Bukankah kata 'tak hingga' itu juga berarti imajiner gajelas. Aishhh... katanya ilmu pasti (?). *sotoysih. Terserahlah. Bagi saya keduanya tetap saja absurb.

Seperti sore ini. Langkah kaki saya yang menapaki jengkal demi jengkal trotoar jalan adalah nyata. Tapi fikiran saya melompat-lompat. Kadang hinggap pada angin yang masih setia memainkan lagunya membuat jilbab saya mengayun mengepak-ngepak. Sungguh elegan (?). Kadang mendarat pada semut yang berlari di anyaman pagar besi sembari memikul remah kue yang bahkan ukurannya lebih besar dari tubuhnya. Kadang pada plastik-plastik sampah yang tak kunjung membusuk ditimbun tanah. Kadang pada asap pekat yang keluar dari knalpot karatan sebuah bus yang seharusnya sudah dimuseumkan. Kadang pada nenek tua. Kadang pada abang becak. Kadang pada mbak-mbak berjas putih. Kadang pada kayu. Kadang pada batu. Kadang pada tanah. Kadang pada pohon. Kadang pada burung. Atau.... sarangnya...(?)



Saya menemukan sebuah sarang burung tergeletak tak bernyawa (?) di jalan setapak yang saya lewati. Ia seperti terletak di tempat yang salah dan pada saat yang salah. Iya sungguh disaat yang salah karena dengan malangnya ia ditemukan oleh saya.
Yang kalo saya belum dewasa maka saya akan membawa sarang itu ke kost dan memamerkannya pada teman saya dan akan saya mutilasi rame2 tanpa berperikesarangan. *apadeh.
Tapi berhubung saya sekarang sudah dewasa (?) paling saya hanya akan menyentuhnya-memfotonya dulu-mengguncangnya-mengintipnya jangan2 masih ada telornya-mengguncangnya lagi karena kecewa ga ada telornya-mengintip lagi karena penasaran-lalu sedikit diremas-lalu remas lagi-masih diremas-diremas-dan yah sedikit koyak-lalu karena kecewa tidak ada apa-apa maka dibuang dan dibiarkan lagi tergeletak seperti sediakala. -_-".

Saya pun akhirnya memutuskan untuk meneruskan lagi langkah yang tertunda. Lagi-lagi fikiran saya terbang. Saya membayangkan bagaimana rasanya memiliki sayap. Memandang bumi dari angkasa tentu akan keren sekali (?). Mengumpulkan satu demi satu rumput atau ilalang hanya mengandalkan paruh. Pertanyaannya, kalo saya butuh keranjang dimana saya bisa meletakkannya? Oh oke cukup diikat. Lalu saya terbang ke atas pohon, memilinnya satu persatu. Menganyamnya entah gimana caranya tanpa bantuan benang dan jarum (?). Dan--kita singkat saja--maka jadilah sebuah sarang. Sarang yang kokoh dan hangat. Sarang yang kalo bahasa korea itu artinya cinta*gak penting!. Sarang tempat dieraminya telur-telur saya (?). Kan ceritanya saya burung (?).

Dan tiba-tiba suara musik berhenti mengalun. Ia merefrein sendiri kembali ke awal. Kembali ke dunia nyata. Oke!

Jadi sebenarnya saya sedang menertawakan diri saya sendiri. Dengan kepedean tingkat dewa saya berkeliling di parkiran sore sepulang ngampus tadi. Mencari motor. Mati-matian saya mengingat dimana saya parkir pagi tadi. Hampir putus asa, tiba-tiba datang Pak Sugeng--satpam kampus saya.
"Nyari apa, Rin?"
"Motorlah, Pak."
Masa iya nyari Buku di parkiran, Pak. *begitu pikir saya dalam hati.
"Emang kamu bawa motor?"
"Iyalah Pak, orang bawa helm." Si bapak hanya nyengir.
"Tenanan koe nggowo motor?" (translate: beneran kamu bawa motor?) 
Alis saya bertaut. Bingung. Hening.
"Eh? Emangnya saya gak bawa motor ya, Pak?" *gubrak
"Ora.! Tadi kamu dibonceng temenmu, Rin, makanya kamu bawa helm."
Tiba-tiba cerah!! -_-"
"Oh iya ya Pak?? Makasih Pak." Lalu ngeloyor pergi nahan malu. Nyari-nyari lubang. Rasanya pengen nyungsep aja buat ngumpet. Etdah anak mudaaaa... T_T. Huks.
Maka beginilah saya. Terlunta-lunta di jalan menapaki senti demi senti trotoar sembari menenteng helm. Rasanya ingin tertawa. Tapi sedih juga sih. Malu sumpah. Itu mana Pak Sugeng tadi ketawanya puas banget pula. Jadi sebenernya siapa yang muda siapa yang tua sih? Huks. T_T

Tiba-tiba entah gimana caranya saya sudah sampai dikost. Tepat adzan maghrib berkumandang. Buru-buru saya masuk gerbang kost. Naik kelantai dua. Nyari-nyari kunci ditas. Naas kuncinya blibet sama sampah-sampah di tas saya (?). Lalu akhirnya ketemu dan saya masuk kamar.
Saya nyari gelas. Mengucurkan minum ke atasnya. Lalu duduk tenang. Mata terpejam dan berdoa. Doa buka puasa.
Allohumma laka tsumtu wabika aamantu wa'ala rizqika aftortu birohmatika yaa arhamarroohimiiin. amin.

Lalu slurp... segelas air itu menyiram kerongkongan saya. Alhamdulillah.
Terdengar suara iqomah. Lalu saya bersiap hendak ke WC. Dan tiba-tiba saya teringat sesuatu...
Oh iya saya lupa bahwa saya sedang libur.
HAAAAHHH????

Hening..........
            Hening...........
                         Hening..........



*Krak.  (Gambar hati pecah jadi dua). Mendingan saya pingsan aja. T_T.
Lalu saya gak makan dari pagi itu ngapain??? *guling-guling.
Ini namanya bukan kerajinan tapi.....Huks..T_T
Ya Allah....
Kenapa saya bisa begitu pelupa?
Apakah saya sudah beranjak tua?
Mengapa saya? Bagaimana? Apa saya? Saya kemana? Manusia? Tua? Amnesia? Aaaarrrrgggghhhhh*%*^^$%*OP^@#^&*(

Tidak ada komentar:

Posting Komentar