Sabtu, 27 Oktober 2012

Tentang sate sapi

Daun yang jatuh dari pohonnya menari riang seirama angin di sore itu. Layung yang menggantung di langit mesjid melatari serombongan burung yang terbang membentuk formasi. Sementara si matahari masih mengintip malu dari balik awan. Meninggalkan semburat cahaya orange yang selalu menginspirasi para penoreh warna diatas kanvasnya.

Lantai mesjid goncang oleh suara hentakan kaki-kaki mungil di terasnya. Kadang diselingi tawa renyah yang menggema didinding-dinding mesjid. Seorang dari mereka jatuh berdebam tersandung sejadah. Semua mata serempak menoleh. Tercekat. Khawatir. Seolah waktu mendadak berhenti karenanya. Namun ia segera bangkit. Otot-otot di sudut bibirnya spontan berkontraksi meninggalkan tawa. Ia berdiri malu-malu. Gelegar tawa pun membahana. Gigi-gigi ompong mereka menyembul dari balik bibir.

Oke..lagi-lagi ini cerita tentang anak-anak.

Saya heran. Kenapa mereka suka sekali berlari? Mengejar entah apa dan entah apa yang dikejar. Seolah femur dan tibia mereka terbuat dari besi. Seolah kekuatan mereka hanya didapat dari sekaleng bayam milik Popeye. Dan seolah rasa lelah bukan lagi milik mereka.
Saya jarang melihat orang dewasa berlari. Terlambat masuk kuliah saja mereka tak mau repot-repot berlari. Haha iya tau itu mah saya. -_-".
Tolong jangan bandingkan dengan film india yang adegannya dua sejoli yang berlari-lari di taman sambil ngelilingin tiang!! Itu pengecualian. (yaiks. norak!!)

Hanya suara adzan yang mau menghentikan mereka. Benar saja. Begitu muadzin memegang mic, anak-anak TPA itu buru-buru mengambil posisi mencari-cari alat shalat mereka di tas. Sementara yang dewasa menunduk khusu'. Menikmati alunan suara indah adzan. Adzan yang perlahan beresonansi dan menelusup lembut mengisi tulang sanggurdi. Hati kami mencelos seolah ada kubikan air es menghantam dada. Otot-otot kepala kami berefleksi. Wajah kami dibuai oleh sejuknya buaian adzan nan syahdu.

Shaf depan mulai terisi penuh. Semua bersiap untuk menghadap Rabb kami. Mengulangi ikrar janji penghambaan kami 5 kali sehari.

"... Ku hadapkan muka hatiku kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi dengan keadaan lurus dan menyerahkan diri..."

"... Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku semata hanya untuk Allah, Tuhan seru sekalian alam..."

Ikrar itu melucuti atribut keduniawian kami. Yang mahasiswa, lupa dengan skripsinya. Yang aktivis, meletakkan dulu beban amanahnya. Yang anak kost, lupa dengan tagihan rekening listriknya. Yang pejabat, yang seorang ayah, yang seorang ibu, yang karyawan PLN, yang pedagang bakso, yang tukang sapu, semuanya... Jabatannya kini sama didepan Rabbnya. ... Hamba Allah.

Sujud terakhir begitu shaydu. Seolah Rabb kami berada di setiap nadi kami.  Kini, otak kami berada dibawah. Setiap partikel darah kami perlahan mengalir menuju kepala. Berturbulensi membawa setiap hemoglobin berisi oksigen. Mensuplai nutrisi. Menyambung kehidupan untuk tiap neuron yang hampir koleps karena jenuh bekerja. Sementara hati terletak di atas otak. Bersujud itu berarti memuliakan hati. Kalo kata Ustad Syatori, orang yang mendahulukan hati daripada otak berarti dia sedang bersujud. Karena bersujud mengajarkan untuk lebih mendahulukan hati dibanding logika. Masya Allah...

Selesai salam, kini malam mulai terasa kesunyiannya. Semua tenggelam dalam doa penuh harap. Karena selesai shalat itu adalah termasuk waktu yang utama untuk berdoa. Lalu... tiba-tiba terdengar gema takbir dari speaker mesjid.

"Allaaahu akbar... Allaaahu akbar.... Allaaahu akbar. Laa ilaaaha ilallaaaahu wallaaaahu akbar. Allaaahu akbar walillaaaahil hamdu."
Jika tadi ketika shalat hati ini mencelos. Maka kini, tak hanya itu, tapi hati ini seperti sedang naik roller coaster di turunan tajam. Syahdu. Tapi menyayat.


Allahu Rabbi... hampir lupa kalo ini masih lebaran.
Allahu Rabbi... saya rindu mendengar suara itu. Rindu. Rindu. Rindu.
Mengingatkan saya pada kota kelahiran. Pada bunyi bedug yang dipukuli oleh sepupu-sepupu. Pada sarung-sarung dekil dan kopiah adik laki-laki saya. Pada masakan nenek dengan ketupat dan sekuali soto sapinya. Pada tawa renyah adik perempuan saya. Pada tangisan keponakan yang berantem berebut stik PS. Pada bunyi air mancur yang sengaja dinyalakan ayah untuk menghibur keluarga besar. Pada ibu...
 Ibu... :')...

Kutitipkan selaksa rindu ini pada aubade adzan dari speaker-speaker mesjid di tiap penjuru kota.

Bu...., pengen sate sapi. huks. :'(............

Tidak ada komentar:

Posting Komentar