Rabu, 24 Oktober 2012

Terimakasih Tantra

"Perempuan adalah Ibu. Seorang ibu ibarat sekolah. Apabila kamu siapkan dengan baik, berarti kamu menyiapkan suatu bangsa yang harum namanya." (Dr. Yusuf Qardhawi)

***

Tempat duduk ini tiba-tiba saja bergetar. Suara mesin berdengung. Dan deretan rumah di samping kanan saya perlahan menjauh lalu hilang. Digantikan oleh pohon-pohon yang meloncat-loncat menjauhi saya. Lalu hamparan sawah. Dan menghilang. Tak bosan saya melihat lukisan Tuhan di balik kaca jendela. Indahnya tak bisa diungkapkan dengan kata. Proporsi warna, tipografi garis, tergambar jelas dikotomi antara desa dan kota. 

"Kamu yakin mau dimakan??" suara wanita muda yang duduk di depan saya membuyarkan lamunan saya. 

Ah... Saya hampir lupa kalo saya berada di atas kereta. Dan mulailah mata saya melancarkan aksi, piknik kesana kemari siap mengamati.
Ya, rupanya bocah laki-laki bertubuh gempal disebelah wanita muda itu  adalah anaknya. Siapa yang menyangka bahwa wanita berambut panjang hitam tergerai, berkacamata biru--iya dia pake kacamata biru gelap di kereta--, beranting bulat besar, dan sekilas mirip Krisdayanti itu ternyata menenteng bocah gempal di sebelahnya?? Kesan pertama saya begitu melihat Mbak-mbak muda itu adalah muda, cantik, energik, modis, dinamis, dan cerdas. Saya membayangkan dia kalo tidak kerja sebagai bintang film pasti seorang pekerja kantoran. Luar biasa. Wanita karir didepan saya ini ternyata mau menyempatkan diri di hari liburnya mengantar anaknya piknik bersama teman-teman sekolah TK nya. Jujur saja, selama ini paradigma saya adalah wanita metropolis macam mbak-mbak didepan saya ini akan memilih melimpahkan pengasuhan anaknya pada Asisten pribadinya a.ka. Baby siter karena sibuknya bekerja. Tapi didepan saya ini, dia adalah satu-satunya (sepertinya) Ibu tergaul yang menuntun anak TK dibanding dengan Ibu-ibu di kursi kompartemen lainnya.

Iya jadi ternyata saya didalam gerbong kereta ini telah terperangkap bersama bocah-bocah TK berseragam yang spertinya hendak berwisata ke suatu tempat. Jika saya menangkap pembicaraan ibu-ibu di sebrang kanan saya sih katanya mereka mau wisata kebun sambil bikin Pizza. Wow. *mata berbinar.

"Bu, kenapa keretanya maju?" seorang anak di kursi sebelah saya berseru dengan wajah bersemangat, bertanya pada ibu di sebelahnya yang sudah mulai berumur.
Haha, saya tak kuat menahan tawa mendengar pertanyaan-pertanyaan "cerdas" dari anak itu. Kalo saya jadi ibunya, mungkin saya lebih milih lompat aja lewat jendela kereta *yang ini lebay. -_-"

Taukah? Saya disini sedang berjuang menahan diri untuk tidak menggigit pipi bocah-bocah itu saking gemasnya. Serius deh. Saya liatin wajah mereka doang aja gak tahan nahan senyum. Mereka itu polos. Lucu. Jernih. Segar. :)
Ah, saya percaya mereka itu dekat dengan malaikat. Kesucian dan kelucuan mereka saja sama sekali tak terkurangi oleh kebrutalan orang-orang yang menciumi mereka. Harum aja jika menghirup nafas mereka. Percaya deh, saya yang berkecimpung di dunia gigi dan mulut saja sudah beberapa kali membuktikannya. *sotoy. B)

"Udah deh jangan resek!!" suara si ibu muda didepan saya mengagetkan lamunan saya.

Cukup kaget juga menyadari kalo kalimat si ibu tadi itu tertuju pada anaknya.
Jadi, saya yang biasanya sok akrab dimana-mana, agak sungkan juga mau melancarkan kesotoyan saya di depan orang yang high class macam si ibu muda ini. Padahal jelas beberapa kali lutut kami bersenggolan. Harusnya sih jadi awal pembuka percakapan. Tapi berulangkali saya urungkan. Entahlah. Rasanya... beda aja... apalagi setelah menyadari sedikit kekasaran yang mungkin tak sengaja terlontar dari si ibu itu pada anaknya.

Tiba-tiba terdengar suara Hape berdering. Dan si ibu muda itu mengangkat teleponnya dan berbicara menggunakan bahasa Inggris. Wow. Kekaguman saya yang tadi sempat turun, kini sedikit terangkat lagi begitu mendengar kecerdasan si ibu ini yang cas cis cus ngomong bahasa Inggris.
Bersamaan dengan itu, muncul trolli makanan, didorong oleh wanita cantik yang jika saya taksir sepertinya itu pedagangnya. Benar saja. Wanita berseragam itu menawar-nawarkan makanan kecil ke anak-anak TK dari kursi ke kursi. Ketika tiba di kompartemen saya, si bocah gempal itu mengguncang-guncang lengan ibunya. Si ibu yang sibuk menelepon mengabaikan anaknya.

"Tuh kan, Mimih gamau dengerin aku." seru si bocah itu sembari merengut menahan tangis.

Namun trolli makanan itu pun berlalu. Si ibu muda, dengan wajah menahan kesal menutup teleponnya dan karena matanya tertutup kacamata biru gelap jadi saya tak bisa melihat persis gimana ekspresinya. Jika boleh saya menebak, sepertinya si ibu itu melotot, soalnya si bocah itu nampak ketakutan dan...

"Hey!! Mimih lagi nelepon you know?"

Jangankan bocah itu, saya saja ikut-ikutan terlonjak mendengar bentakan si ibu tadi. Bocah itu secara ajaib langsung diam dan berhenti merengek.

"Kamu gak liat?" si anak membisu. "Memangnya tadi ada apa manggil-manggil Mimih?"
 "Aku cuma mau ngasih tau kalo ada penjual makanan." jawab si bocah takut-takut.
 "Bohong!! Kamu pasti mau beli, kan?" si anak menggeleng.
 Saya yang berulangkalil beristighfar dalam hati memilih untuk pura-pura tidur daripada  harus memperhatikan wajah si bocah lucu nan malang itu.

"Lalu apa?? Kamu mau nyuri??"
Saya masih pura-pura tidur. Mata saya benar-benar terpejam, namun telinga saya menyala. Saya tak tega melihat bocah lucu itu.

Astaghfirullah... tuh ibu kenapa sih?? Astaghfirullah. Ingin rasanya saya mengelus dada menahan emosi yang membuncah-buncah.

Kau tau apa yang saya pikirkan ketika itu?? Saya menarik kembali rasa kagum saya pada wanita muda itu.
Cara mendidik macam apa itu??? Merusak!! Destruktif!!
 Saya membayangkan akan seperti apa karakter anak itu ketika besar nanti jika si ibu bertahan dengan pola didikan keras macam begitu. Saya bisa melihat ada sedikit kepongahan dalam diri si bocah laki-laki gempal itu di awal saya jumpa dengannya. Kami berhadapan. Tapi si anak sama sekali tak mau peka dengan sekelilingnya. Saya yakin, jika anak lain yang ada didepan saya saat ini pasti dia akan melirik saya malu-malu. Lalu biasanya setelah begitu, dia akan saya beri senyuman termanis saya. *krik. Lalu si anak akan mengguncang baju si ibu dan si ibu akan ikut menoleh ke arah saya dan kemudian kami terlibat percakapan. Tapi sekali lagi saya melihat ada keacuhan dalam diri si bocah gempal itu. Saya sama sekali tak menyalahkannya. Tapi ini akibat lingkungan. Pola asuh. Hasil didikan orang tua.

Saya mungkin sotoy dalam hal ini karena yah saya belum punya anak (?). Tapi ini sedikit membuka mata saya bahwa helloooo... para wanita muda yang belum nikah dan calon ibu, plis deh jangan dulu mentingin gaya. Belajar gimana jadi ibu dulu dengan baik kek!! (termasuk saya juga sih) Grrr.....$&^%P(&**^) Saya hanya tak tega ada anak-anak lain yang nasibnya sama kayak bocah gempal yang duduk didepan saya itu.

Dan hey taukah?? Beberapa menit setelah bocah itu dibentak oleh si ibu, si anak turun dari kursinya dan bermain-main bersama temannya di gerbong kereta. Saya yang ketika itu masih menahan keheranan akan kejahatan si ibu muda itu, malu sendiri melihat keceriaan bocah itu.
Ah anak-anak... Selalu pandai mengejawantahkan rasa. Tak ada dendam. Tak ada sakit hati. Dia tulus. Polos. Saya sama sekali tak melihat tawa yang tertahan dari ukiran wajah mungilnya. Tawanya lepas selepas-lepasnya. Seolah dia baru saja dapat tambahan uang jajan dari ibunya. Ia amnesia dengan bentakan ibunya tadi. Tapi apakabar hatinya? Akankah kejadian tadi mengendap dan terkristalisasi menjadi sifat keras dalam dirinya? Teteh berdoa setulus hati
, semoga kamu baik-baik saja. amin.

Bocah itu, namanya Tantra... :')

Tantra, semoga Mimihmu kelak jadi berjilbab, solihah, anggun, dan lembut.

Tantra, tugasmu hanya mendoakan. Perkara lain itu adalah urusan Allah.


Tantra... terimakasih telah memberikan Teteh pelajaran berharga hari ini.
Tantra, tetaplah tersenyum. :'). *peluk hangat dari  Teteh ya, Tantra. :*.  *cups* Smangat!!! ^_^9
Miss u Tantra... :)

*padahal saya sama sekali tak pernah mengenal apalagi mengajaknya bicara* -_-"

~Perjalanan Jogja-Solo, Sabtu 20 Oktober 2012~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar