Selasa, 09 Oktober 2012

Berani jujur itu? Baik!

Saya bingung. Dan mungkin deretan bocah kecil didepan saya juga bingung mendengar cerita si Abang-abang itu didepan kelas. Tapi toh mereka memperhatikannya. Walaupun mungkin beberapa dari mereka malah memperhatikan mimik muka si abang2nya. Pikiran mereka terbang ke 15 tahun kedepan membayangkan betapa kerennya berada di depan kelas seperti abang-abang itu.
"Berani jujur itu?? Baik!." suara si Abang2 itu mulai menyedot perhatian.
"Berani jujur itu??" ulangnya...
"BAIIIIIKKKKKK...!!!"


Ia terus mengulang-ulang pesannya, memastikan agar setiap inci kata-katanya meresap, masuk ke dalam setiap sel otak mereka, didekap oleh memori, dan dijauhkan sejauh-jauhnya dari lupa.
Tak peduli mereka bertanya-tanya untuk apa materi itu disampaikan? Paling tidak mereka tau apa itu korupsi.

Sebenarnya saya--dengan anugerah kesotoyan saya yang luar biasa--hanya ingin ikut ngomongin berita teraktual yang kini sedang menghebohkan aja sih. KPK. Membuat saya teringat salah satu proker ketika kkn beberapa bulan lalu. Iya benar! Si abang-abang itu, dengan jumawanya dia jadi pembicara mengenai Korupsi Kolusi dan Nepotisme didepan adik-adik usia SD. Yang karena pembicara menerangkannya pake bahasa yang tidak saya mengerti (bahasa jawa), maka jadilah kebingungan saya ketika itu semakin berlipat-lipat. huks.

Tentang KPK. Penuh otak saya dengan pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan ngambang yang pada akhirnya selalu harus saya telan bulat-bulat. Pertanyaan semacam : Kenapa coba Pak Beie itu bisa selambat itu? Kenapa dewan terhormat itu tiba-tiba merevisi UU KPK? Kenapa Pak Novel itu ditangkap pake Den Sus segala? Kenapa instansi terhormat itu sepertinya sebel banget sama KPK? Kenapa saya dilahirkan di Indonesia? Kenapa saya hidup di jaman Pak Beie? Kenapa korupsi itu identik dengan tikus? Kenapa di kebun binatang ga ada tikus? Kenapa saya banyak sekali bertanya kenapa? Aaaarrrrrgggghhhh.....#&%^&$%*(P(*^%

Sudah terlalu sering otak saya mengintimidasi fikiran. Menceracau sendiri. Ngomel-ngomel sendiri. Tau sendirilah ya betapa langkanya saya nonton berita di tv, sekalinya nonton, rasanya pengen lari ke jalan dan garuk-garuk aspal (?) dan sekuat tenaga menahan diri untuk tidak melempar tivi saja ke empang *hasyah.

Ya Allah...saya tak bisa membayangkan seberapa banyak dosa pemimpin-pemimpin negeri ini? Wahai tuan-tuan di atas sana, kasihanilah kami disini yang hanya bisa ngomel tanpa bisa ngapa-ngapain, plisss... Astaghfirullaaaahh... *jedot-jedotin-pala-ditembok.

Atau...

Pada akhirnya saya akan setuju dengan pembicara. Bahwa mengenalkan tentang bahaya korupsi kepada bocah-bocah lugu itu sejak dini adalah tepat. Tak peduli apakah ini wajar atau tidak. Tak peduli apakah mereka mengerti atau tidak. Tak peduli apakah punggung-punggung mungil mereka sanggup memikulnya atau tidak. Yang jelas, kami menaruh harapan besar pada mereka. Harapan yang aromanya menusuk dan menebarkan bau masa depan. Perubahan.

Bocah-bocah itu. Sorot mata mereka memang selalu memancarkan masa depan. Keheningannya. Air mukanya. Ah... saya suka ekspresi mereka. Itu adalah ekspresi yang biasa mereka ejawantahkan ketika saya bercerita. Mereka tetaplah polos. Putih. Murni. Membuat saya gemas ingin memeluk mereka dan merengek-rengek agar saya juga diajarkan kejujuran seperti mereka.

Tiba-tiba saya melihat bocah kecil memakai kemeja, berkacamata, dan menghentak-hentakkan mistar didepan saya.

"Ayo mbak ikuti apa kata saya, berani jujur itu??"
????#$!$%$@#%^%$&

"Baik..." gumam saya, getir. *peres sapu tangan (?)...T_T

Tidak ada komentar:

Posting Komentar