Senin, 19 November 2012

warna

*Kisah ini terinspirasi dari kisah nyata.

Sebut saja namanya Ririn. Mahasiswa berjaket ungu itu tengah duduk di depan meja sebuah toko. Ia sibuk memperhatikan seorang anak kecil dekil berbaju kuning. Entah sedang apa, anak itu tengah kasak kusuk di depan rak alat elektronik. Hingga kemudian anak itu berbalik. dan Ririn pun bisa melihat jelas wajah anak itu. Rambutnya sebahu, pirang, tipis, dan gimbal. Ia kurus kering, bahkan tulang belikatnya menyembul lewat kerah bajunya yang kebesaran. Matanya sayu. Entah tak tahan menahan kantuk, menahan lelah, atau..... mengiba. Gurat-gurat wajahnya seperti menanggung beban pikiran yang begitu berat. Tak ceria seperti layaknya anak seusianya.

Ririn merasa familiar dengan wajah anak itu. Ia selama 3 tahun berkuliah memang sudah terbiasa melihat bocah kecil itu di pinggir jalan. Anak itu terbiasa menjadi peminta-minta di lampu setopan dekat kampusnya. Dulu sekali, Ririn pernah melihat wajah anak itu lebam dan diarea pipinya ada luka seperti bekas sundutan rokok. Penasaran Ririn bertanya pada anak itu ketika ia mendekat. Tapi lampu setopan itu terlanjur hijau, dan Ririn tak sempat mendapatkan jawaban.

Dan sekarang ia malah bertemu dengan anak itu disini. Pertanyaannya adalah, apa yang anak itu sedang lakukan dalam toko? Ririn tak melihat ada orang dewasa yang mengikuti anak itu atau yang diikuti anak itu. Ririn menduga anak itu sendiri dalam toko. Untuk apa?


"Dek lagi apa?" Dengan sok kenal sok akrab Ririn memanggil anak itu.
 Anak itu mendekat. Lalu tiba-tiba ia menunjuk sesuatu di rak belakang Ririn.
"Apa dek?"
"Mau gambar." anak itu bergumam pelan.
Kening Ririn mengernyit sembari kembali membalikkan badannya memandang ke arah rak dibelakangnya. Oh rupanya anak itu menunjuk deretan pensil warna.
"Pensil warna?" tanya Ririn
"Iya, buat gambar. Besok di sekolahku ada lomba gambar." anak itu menjawab tanpa sungkan.

Ririn menatap kebeningan kedua bola mata anak itu. Ia ingin melihat kejujuran darinya. Tapi nihil. Ririn hanya berhasil menangkap kepolosan.

"Kelas berapa, dek?" tanya Ririn
"Kelas 3."
"Dimana rumahnya?"
"Di pinyit."
"Besok gak sekolah po?"
"Sekolah. Kan senin." Akhirnya kedua mata anak itu menatap Ririn. Ririn tersenyum dan anak itu membalas senyum. Manis sekali. Seolah gurat itu baru pertama kali terlukis di wajahnya. Tiba-tiba saja Ririn begitu bersemangat.
"Adek yang biasa di lampu setopan sana ya?" ujar Ririn sembari menunjuk ke arah luar pintu.
"Lampu setopan itu apa?" Ririn membalas senyuman.
"Bangjo di depan sana itu loh."...
"iya."
"Dimana ibu?"
"Disana." dia menunjuk keluar pintu toko.
"Belum pulang jam segini?"
"Nggak."
"Terus nanti tidurnya?"
"Tidur di pinggir jalan, mbak."
"Kenapa? Gak dingin po?"
"Tidur di rumah gak muat, ada nenek."
Hati Ririn trenyuh. Mencelos. Seperti naik roler coaster di turunan. Ia berkali-kali berdzikir menyebut asma Allah dalam hatinya.
"Kita belum kenalan. Nama saya Ririn. Adek siapa?" tanya Ririn sembari menyodorkan tangan kanannya mengajak bersalaman.
"Puji."
Senyum anak itu kembali merekah. Keceriaan itu sepertinya sudah lama ditelan beban. Seolah ia memang dipaksa untuk dipahat dengan wajah mengiba.
"Duduk sini!" Ririn menarik kursi didepannya. Kemudian Puji duduk.
"Punya kakak?"
"Punya banyak."
"Adik?"
"Ada satu."
 ------------------------
---------------------------------------------
-----------------------
Pet!!! Lampu layar tivinya mati...--------------------------------------------
#Hmmmm sori roll filmnya habis. Dan beberapa adegan hilang -_-"
--------------------------------------------------------
------------------------------------

Ririn keluar dari toko menuju parkiran motor. Dan ia terkejut melihat ada makhluk kecil melambaikan tangan. Ah itu Puji. Puji bersama 2 orang yang mungkin ayah ibunya. Mereka bertiga tengah duduk-duduk santai di emperan toko yang etalasenya sudah tutup. Ririn membalas melambai dan tersenyum ke arah Puji. Hanya kepada Puji. Ririn tak mau memandang lama-lama ke arah ke2 orang dewasa itu. Ia langsung melajukan motornya dan berhenti di lampu setopan tempat Puji biasa meminta-minta. Benar saja. Puji mendekat. Lalu tersenyum sangat riang. Alangkah manisnya anak itu. Ia lalu mulai meminta-minta, menyusuri satu demi satu pengendara motor di depan Ririn. Wajahnya kembali dipasang menghiba. 

Sekarang justru Ririn yang senyumnya tercekat. Otot-otot sudut mulutnya kaku. Ada sesuatu yang menyesak di dada Ririn. Bagaimana bisa bocah sekecil itu dididik untuk meminta-minta? Padahal jelas-jelas orang tuanya menyaksikan dia di emperan toko. Tak sudi Ririn memandang mereka barang sedetik pun. Ia tak mau diam-diam menyimpan kebencian pada orang yang bahkan tak dikenalnya. Ia tak mau mengotori hatinya dengan berburuk sangka. Ia ingat Ustad Syatori pernah bilang bahwa orang-orang mutaqin akan meninggalkan hal-hal yang bisa membuat hati bersu'udzon. Astaghfirullah. Keceriaan Puji terenggut paksa oleh keadaan. Itu bukan keinginan mereka. Ririn tau itu. Lalu apa dan siapa yang harus disalahkan? Ada kegeraman yang bergejolak dalam hati Ririn. Satu-satunya yang bisa ia salahkan hanyalah dirinya sendiri. Betapa ia tak bisa berbuat apa-apa. Senjatanya mungkin hanya doa.
Fabiayyi aalaa irobbikumaa tukadzibaan??? Maka ni'mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan???

Tidak ada komentar:

Posting Komentar