Jumat, 15 November 2013

prasangka dalam pelangi

Kawan yang tulus kadang memang lebih MENYEBALKAN daripada musuh yang menyamar. Bekal utama kebersamaan adalah KESABARAN. Sebab kita tahu, perjalanan berombongan lebih lambat dibanding sendirian...
Persaudaraan adalah BERBAGI. Tetapi salah satu harus memulai; sepertinya lebih mudah bukan dengan meminta, tapi MEMBERI. Siapa yang tidak sabar belajar, harus sabar dalam kebodohan. Siapa yg tak sabar bersaudara, harus sabar dalam kesendirian."
(Salim A. Fillah).

***

Hitam selalu datang terlambat. Bahkan denyut waktu pun sudah mulai bosan mengulang bilang. Hingga semua bersepakat meninggalkannya sendiri. Maka meluncurlah mereka satu persatu membentuk formasi tangga warna di angkasa. Bak bianglala yang melengkung sempurna. Yang tiap ujungnya dipegangi sesosok peri. Dialah pelangi. Dia yang tampak indah dengan segala perbedaannya. Walaupun tanpa hitam. Karena hitam selalu membuat yang lain menunggu. Hingga jenuh. Itulah mengapa pelangi ada tanpa hitam.

Ketika ikut seminar kepenulisan tere liye, kami diminta menulis sebuah paragraf tentang hitam. Hampir semua menceritakan bahwa hitam itu warna. Namun seseorang yang antimainstream selalu memiliki pembeda diantara yang lain. Ia bercerita tentang pelangi. Hmmm...

Kau tau? Pelangi selalu diumpamakan seperti sebuah persahabatan. Yang justru karena perbedaannyalah ia tampak begitu indah. Dan jalan cerita persahabatan itu seperti sebuah lagu. Yang adakalanya kita mencapai refrain. Puncak nada sehingga gelombang not baloknya terdengar mencekik-cekik. Tetapi, bukankah justru di bagian refrainlah telinga ini terpaut? Hey sadarkah? Refrain memang selalu yang paling mudah diingat, kan?

Dalam persahabatan refrain itu bisa berupa pertengkaran-pertengkaran kecil diantara pelakunya. Yang seringkali mereka terjebak egoisme masing-masing. Hingga sang penengah sudah mulai jengah. Sudah mulai jenuh. Dan kemudian menyerah. Merasa sia-sia sudah semua usahanya mengibarkan bendera perdamaian. Hellooo everything's gonna be ok. Yakinlah.

Saya kemudian teringat sebuah kisah pada zaman Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah.
Suatu hari seseorang melakukan perjalanan untuk mengunjungi saudaranya yang tinggal disuatu negeri. Maka Allah mengutus seorang malaikat untuk mencegatnya di suatu tempat ditengah perjalanan. Ketika orang itu sampai, malaikat itu bertanya, "Hendak ke manakah engkau, wahai hamba Allah?"
"Aku hendak mengunjungi saudaraku yang tinggal di negeri ini,"
"Apakah kamu punya kepentingan duniawi yang diharapkan darinya?"
"Tidak," tukasnya, "Kecuali sebab aku mencintainya karena Allah."
"Sesungguhnya aku adalah utusan Allah," ujar sang malaikat, "Yang dikirim kepadamu untuk menyampaikan bahwa Allah telah mencintaimu seperti engkai mencintai saudaramu itu."

Masya Allah, dahsyatnya sebuah niat ketika itu disandarkan hanya untuk Allah. Bahwa ketika kita kecewa. Merasa tak dihargai. Merasa tak diharapkan. Alangkah bijaknya kita memeriksa kembali niat. Karena berharap pada manusia atau menggantungkan diri pada mereka adalah luka bagi iman ini, juga kekecewaan yang kadang bertubi.

Ahh...
Karena tak ada lagi diantara kami
Yang sebaik Musa
Atau sejahat Firaun
Karuniakanlah pada kami kepekaan
Agar saudara kami tak perlu berteriak
Saat menyampaikan cinta dalam nasehatnya
Tapi cukup dengan isyarat mata
Raut muka
Atau bisik kecil yang menggetarkan...
(Salim A Fillah)

Maka getaran itu hanya akan sampai pada hati yang utuh. Kau tau? Hati itu ibarat gelas. Yang ketika ia utuh, maka sebanyak apapun air yang dituang dari sari hikmah semesta, bisa ia tampung sepenuhnya, bahkan apapun yang dituang akan berubah menjadi sangat lezat untuk dinikmati. Tetapi sedikit saja gelas itu retak. Maka sebanyak apapun air yang dituang ke atasnya, akan ada yang merembes keluar dari celah-celahnya. Apalagi jika gelas itu pecah.

Kata ust Syatori, hati yang utuh akan memahami bahwa hidup adalah hamparan kesempatan berbuat baik. Telinganya selalu bisa menangkap pesan-pesan kebaikan dibalik segala peristiwa dalam hidupnya.

Ketika tiba2 ada seseorang yang menghardik kita, memarahi kita. Mungkin telinga kita mendengar kalimat yang buruk, tapi hati yang utuh akan mendengar seperti ini...

"Saudaraku, yang sabar ya. Karena kalau saya tidak seperti ini kepadamu. Kamu tidak punya kesempatan untuk mendapat pahala sabar."

Percayalah, orang yang memarahi kita itu telah berbaik hati mengorbankan dirinya untuk kita. Bagaimana tidak? Ia telah merelakan dirinya menjadi jembatan bagi kita untuk menuju ke tempat yang lebih baik. Hey kawan, menjadi jembatan itu enak ga? Tentu saja tidak. Ia diinjak-injak. Maka orang yang lagi marah itu sesungguhnya ia menderita karena dia telah merelakan dirinya menjadi jembatan untuk menyebrangkan kita ke tempat yang lebih baik. Masya Allah... Jadi, berbaik hatilah pada orang yang sedang marah. :)

Alangkah indahnya memiliki hati yang utuh.
Bagaimana caranya mendapatkan hati yang utuh? Berpuasalah. Puasa mengajari kita untuk memejamkan diri dari segala hawa nafsu duniawi.

Malam berlalu,
Tapi tak mampu kupejamkan mata dirundung rindu
kepada mereka
yang wajahnya mengingatkanku akan surga
Wahai fajar terbitlah segera,
Agar sempat kukatakan pada mereka,
"aku mencintai kalian karena Allah, "
(Umar ibn al khatab)

Jadi barusan saya habis buka catatan-catatan lama. Itu diambil dari kuliahnya Ust Syatori dan novel Dalam Dekapan Ukhuwahnya Salim A Fillah. Merefresh lagi ilmu yang sempat terserak. Saya menulis ini karena saya pun bahkan tak bisa luput dari ujian persaudaraan. Maka saya ikat kisah ini dengan tulisan. Agar kelak suatu saat nanti ketika saya khilaf ada yang berbaik hati mengingatkan apa yang pernah saya tulis. Bahwa alangkah payahnya mendidik akhlak ini. Alangkah beratnya mengistiqamahkan diri. Saya berlindung kepada Allah dari segala penyakit hati yang terkutuk. Saya berlindung kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk.

Lalala yeyeye Smngat hosh hosh!!*naripompom.hho
*ini seperti bukan saya,hiks terharu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar