Sabtu, 19 Januari 2013

Senyum tanpa syarat

Alhamdulillah... hujan kembali datang. Seperti biasa, gemericiknya selalu memantulkan gelombang nada, beresonansi dan merambat melalui udara, sampai ditelinga dan urat sarafku pun berelaksasi. Ia ternyata masih menyapa hati. Membuatnya mencelos lagi. Ah..itu sensasi yang selalu kurindui.

Kau mengerti? Jika hatiku selalu berseri seperti ini. Mudah bagiku untuk tersenyum. Ya kau benar, hujan selalu berhasil menerbitkan senyum diwajahku. I feel so wonderfull. No matter how cold is it. Ah tapi kau salah. Percayalah. Aku selalu berusaha untuk menjadikan senyumanku tak bersyarat. Hentikan mengatakan bahwa kau akan tersenyum karena blabla... kau akan tersenyum jika lalalala... kau akan tersenyum ketika nguingnguing... Tidak. Stop! Dengar! Senyum adalah harta yang paling berharga yang kita punya. Yang hanya karenanyalah, kaum papa pun bisa bersedekah. Hey kawan, tersenyumlah. Dan rasakan sensasinya. *tsah.

Haha... jadi ceritanya lagi sok mellow gitu deh hari ini. Sudah kubilang. Hujan selalu melemparkanku seolah berada di atas pentas sinetron dimana semua kamera menyorotiku malam ini. *pLak! pletak!JeplaK!! Gubrak!%$&%^*(& Pow! pOw! huff... gitu banget.
Tak bosan kan mendengar dongengku? Sekarang sudah jam 12 malam. Dengarlah aku ingin berkisah sebelum kau tidur. Kuharap cerita ini bisa kau ajak bersama mimpimu. Berkelindan membuai tidurmu. Didekap oleh setiap sel memorimu. Masuk ke alam bawah sadarmu. Mengendap. Mengkristal. Dan melenyapkan kosakata lupa dalam temporalmu. Intinya, aku sedang menghipnotismu (?).

Alkisah di suatu pagi yang cerah dimana mentari walaupun tak kunjung menampakan dirinya, ia ada dibalik awan (?). Tak ada hujan pagi itu, tak ada badai, tak ada angin topan, tak ada angin puting beliung, tak ada banjir, *hasyah intinya pagi itu biasa saja (?). Hanya satu yang tak biasa, yaitu si kakek--yang tengah melamun di teras rumahnya sembari sibuk mengaduk-aduk teh hangat--tiba-tiba mendengar suara siulan dari kejauhan. Siulan itu seirama dengan suara hentakan kaki. Bukan hentakan kaki yang melangkah. Tapi melompat-lompat dengan ceria. Suara itu perlahan mendekat. Mendekat. Dan benar saja, didepan rumahnya melewatlah seorang anak kecil, berpakaian lengkap seragam sekolah merah putih, melompat girang sembari menggendong ranselnya dan bersiul. Siulan yang menebar aroma kegembiraan.

Anak itu mengalihkan perhatian si kakek dari tehnya. Cukup lama si kakek memperhatikan anak itu, hingga ketika anak itu menoleh ke arahnya, si anak tersenyum. Senyum yang sangat manis. Dan serasa ada listrik yang menyengat si kakek. Merambat cepat melebihi kecepatan cahaya dan menghantarkan energi positif. Mengubah ion dalam tubuhnya hingga keluarlah zat yang memacu kerja darah, oksigen meningkat, menenangkan arteri, melancarkan peredaran darah dan hey, si kakek hampir lupa bahwa anak itu menunggu balasan senyumnya. Maka dengan sepenuh hati, si kakek membalas senyum anak itu. Senyum termanis yang pernah ia berikan. Hingga anak itu menghilang ditelan pagar rumah sebelah, si kakek baru sadar bahwa ia masih tersenyum. Dan Masya Allah. Taukah? Senyum itu. Senyum anak itu mengingatkannya pada seseorang. Sahabat lamanya semasa SD. Apa kabarnya ia sekarang? Oho.. dia tak mau buang-buang waktu, si kakek segera masuk ke rumah dan meraih kertas dan pulpen. Lama berselang, ia pun siap mengirim surat.

Berhari-hari kemudian. Di sebuah tempat yang letaknya berpuluh kilometer jauhnya dari tempat si kakek, tampak seorang berseragam orange berjalan menapaki pekarangan rumah seseorang dan bersiap mengetuk pintu. Setelah berkali-kali si Pria Orange mengetuk pintu, muncullah lelaki tambun dengan rambut beruban dan ia bertanya 'ada surat untukku?', tanpa menjawab si Pria Orange yang tak lain adalah Pak Pos itu segera mengeluarkan sepucuk surat. Si Bapak Tambun itu terheran-heran ketika membalik surat. Lama sel memorinya menemukan data di temporalnya, dan Masya Allah, itu surat dari teman lamanya. Dan lihatlah, mendadak hari itu adalah hari paling bahagia dalam hidupnya, ia tak henti-hentinya tersenyum, dan ia membagi kebahagiaannya dengan si Pak pos dengan memberikan 'tips' tambahan.

Begitu pintu menjeblak tertutup, si Pak pos masih diam mematung. Ia tak percaya mendapatkan uang sebanyak itu di hari sepagi ini. Si Pak Pos pun pulang menaiki motornya sembari tersenyum bahagia. Ouch... di jalan, di lampu setopan tepatnya, ia bertemu dengan seorang pengemis tua renta. Bajunya kumal, dan ia berjalan sembari terpincang-pincang. Mendadak si Pak Pos jadi mellow. Ia tengah bahagia hari ini, dan apa salahnya jika si Pak Pos membagi kebahagiannya dengan si pengemis tua renta itu. Tanpa pikir panjang si Pak Pos langsung mengulurkan sejumlah uang pada si pengemis. Sejumlah uang yang menurutnya tak seberapa. Tapi...

Si Pengemis itu takjub. Matanya panas. Ya Tuhan air mata itu tiba-tiba saja mengalir haru di pipinya. Ia berulang kali berucap terimakasih pada si pengendara motor. Dan dengan bergetar ia menepi. Ia hitung uangnya, ternyata cukup untuk membeli 2 nasi bungkus untuk ia dan cucunya. Terpincang-pincang ia menuju warung makan. Ia bergetar. Ya Tuhan, akhirnya ia bisa beli nasi, setelah 2 hari ia memunguti nasi basi dari tong sampah, dan dengan kejamnya matahari siang tadi memanggang tubuhnya hingga gemetar karena sisa keringatnya sudah terperas dengan sempurna dari tubuhnya yang renta. Sekarang akhirnya ia berhasil menenteng 2 bungkus nasi untuk cucunya. Di bawah terang bulan ia menapaki jalan menuju gubuknya. Dan hey,,, hujan turun. Si kakek pengemis berteduh. Di bawah etalase toko yang sudah tutup si kakek melihat seekor anjing kedinginan. Berteduh juga sembari menatap kosong ke arah hujan. Si kakek iba pada si anjing. Mendekatinya, mengelusnya dengan penuh kasih sayang dan setelah hujan reda si kakek mengajak serta si anjing pulang bersamanya.

Setelah lelah berjalan, si kakek pengemis akhirnya sampai di rumahnya. Ruangan ukuran 3x3 meter di pelosok dusun itu adalah rumahnya. Rumah yang beralaskan tanah dan berdinding bambu itu dinamai gubuk oleh tetangga-tetangganya. Ah tak masalah baginya. Asal ini rumah halal. Si kakek mengetuk pintu, dan lihatlah dengan gembira cucunya yang sudah lama menunggu di rumah menyambutnya. Hilang sudah rasa penatnya seharian itu begitu melihat senyum di wajah cucunya. Cucu laki-lakinya. Bocah usia 6 tahun itu tampak tegar dibandingkan bocah lain seusianya. Wajahnya sumringah ketika melihat keresek hitam yang di tenteng oleh si kakek. Dan malam itu, si kakek pengemis, si bocah laki-laki dan si anjing bersama-sama memanjatkan syukur kepada Tuhan mereka. Mereka pun makan dengan gembira malam itu. Menikmati setiap butir nasi yang singgah di lidahnya. Membiarkan setiap kuncup kecap berebut menyentuh makanan paling langka sedunia. Dan pada akhirnya kenikmatan yang hanya bisa di rasakan sepanjang lidah itupun lenyap di telan tenggorokan. Ah sungguh nikmat. Lihatlah. Bahkan mungkin mereka jauh lebih pandai bersyukur daripada kita.

Merekapun akhirnya tidur di atas tikar dengan perut terisi penuh. Tidur dengan ditemani sebuah lampu petromak sebagai satu-satunya penyumbang cahaya di ruangan itu. Mereka lelap. Terbuai mimpi akan harapan esok pagi. Hingga mereka terbangun dengan suara gonggongan anjing. Anjing yang si kakek pengemis bawa semalam kini menggonggong dengan sangat kerasnya hingga seisi kampung terbangun di pagi buta. Suara teriakan kebakaran bersahutan dengan suara kentongan di Pos Ronda. Api dari petromak kini menjilati dinding bambu hingga ke atap rumah dengan ganasnya. Si jago merah itu mengeluarkan asap hitam pekat hingga menyembul menggapai malam. Berkat si anjing, si kakek dan si bocah itu terbangun dan selamat dari maut semalam.

Berpuluh-puluh tahun kemudian, si bocah lelaki cucu si kakek pengemis itu, bertransformasi menjadi seorang presiden di sebuah negara. Dahsyat!! Ya, dia kini menjadi seorang presiden. Presiden yang hampir mati dililit api. Kalau saja malam itu tak ada si anjing, mungkin kini bukan ia yang menjadi orang nomer satu di negaranya.

Begitulah. Cerita ini selesai, kawan. Hey... kau belum tidur kan? Biarkan aku menyelesaikan conclusionnya. Kau tau apa maknanya ini? Ini berawal hanya dari sebuah senyuman. Iya senyuman. Sederhana bukan? Senyuman yang berbingkaikan sebuah kisah yang terajut dalam sebuah rantai kebaikan. Maka, tak salah kan jika Allah menempatkan senyuman sebagai sedekah? Karena kebaikan walaupun seberat zarrah. Pasti akan ada balasannya. Pasti! Mari kita mulai dengan memberi yang paling sederhana. Yaitu senyuman. Karena dengannya, tanpa kita sadari kita juga telah mengajari orang lain untuk memberi. Mari kita tebarkan bibit kebaikan. Yakinlah, dia pasti akan tumbuh subur walaupun dalam kegelapan. Dan percayalah suatu hari nanti, kau akan memetik buahnya.

Tak percaya? Mari kita buktikan!! Dan kita tunggu, seberapa panjang rantai kisah kebaikan yang kita tebar dari senyuman kita. Mungkin di belahan bumi lain, efek senyuman yang pernah kita ciptakan itu, masih saling menyambung dan menghasilkan buah ranum dimana-mana. ^_^

*Hey kau tampak cantik tersenyum seperti itu didepan cermin. ^_~...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar