Minggu, 23 Agustus 2015

kanvas

Langit jogja tak lagi sama. Lengang. Seperti kanvas kosong. Tak lagi berwarna. Sama seperti dia. Dia juga merasakan kekosongan itu. Seperti ada yang hilang. Tapi entah apa.

Kota ini yang bertahun tahun lalu selalu membuatnya menangis ingin pulang lalu perlahan berubah menjadi rumah, kini entah sejak kapan kembali bertransformasi lagi menjadi sesuatu yang asing.

Mungkin dulu merekalah yang membuat jogja serasa rumah. Namun seiring waktu mereka satu persatu meninggalkan jogja. Hanya menyisakan ruang di.. entah dimana.

Dia benci menjadi pihak yang ditinggalkan. Maka sejak saat itu ia berjanji pada dirinya untuk tak lagi membuka diri. Karena dia tau kehilangan itu adalah sebuah keniscayaan. Maka ia sebisa mungkin menghindari sesuatu yang bisa hilang menjauhi sesuatu yang bisa pergi meninggalkannya. Ia benci. Ia benci ditinggalkan.

Selepas mereka pergi. Kini hari-harinya ia habiskan bersama aku. Iya aku. Sesuatu yang dia pikir bisa mengisi kekosongan itu ternyata bagaikan pensil warna yang digunakan menggambar di atas kanvas. Tak berbekas. Sesuatu yang ia pikir bisa memberikan warna dan mengisi kekosongan ternyata masih tetap hampa.

Dia walaupun tau bahwa aku belum bisa memberikan warna dikehidupan dia-tetap menggenggam erat aku. Aku yang adalah pensil warna yang tiap hari tanpa menyerah menggoreskan warna diatas kanvas kini mulai membekas. Warnanya kian terang diatas  kanvas. Dia yang adalah kanvas pun senang. Kanvas menatap masa depannya dengan optimis. Walaupun warna yang ditorehkan oleh pensil warna itu sangat lamaaa. Dia akan tetap menunggu. Ya kanvas begitu sabar menunggu dilukis. Dilukis pensil warna. Bah lucu memang.

Tapi... pensil warna itu menghilang sebelum kanvas selesai digambar. Ya aku menghilang. Membuat kanvas frustasi. Membuat dia sedih karena harapan nya musnah. Menyisakan ruang baru. Ruang yang seharusnya diisi aku.

Kini selain membenci ditinggalkan. Dia juga membenci aku.

Aku. Padahal aku tidak menghilang. Aku hanya sedang mengupgrade diri supaya bukan lagi sebuah pensil warna. Aku ingin berubah menjadi kuas. Aku tak ingin membuat dia menunggu lama. Aku bukan menghilang. Aku hanya pergi sejenak mencari cat lukis. Tergopoh-gopoh aku kembali menemui dia.
Tapi dia tak bergeming. Dia terlanjur membenci aku. Dia tak mau lagi merasakan ditinggalkan. Begitu katanya.

Aku. Menyesal. Aku menyesal kenapa aku tak datang setelah menjadi kuas?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar