Sabtu, 06 Juni 2015

aku lelah, apa aku mundur saja dari jalan ini?

December 2, 2011 at 8:39pm


Ia, tertunduk lesu, berjalan mendekatiku dengan langkah gontai. Perlahan ia duduk bersila dihadapanku. Sementara aku hanya memperhatikannya dalam diam.
Lama ia terdiam, dan akhirnya dengan helaan nafas panjang, ia berkata..
"Aku lelah, apa aku mundur saja dari jalan ini?"  ia masih menunduk, seakan menghindari sorot mataku.
Perih hati ini mendengarnya. Pedih.

Selanjutnya ia berucap tentang berbagai alasan.
Tentang masa luangnya yang sempit untuk dakwah

Tentang keluarga dan berbagai tuntutan mereka
Juga bahwa ilmu dunia perlu ia jadikan priorotas utama
Atau berbagai hujjah lain yang seolah akan memaklumkan keinginannya untuk menghentikan langkah.

Maka, kuminta ia untuk menatap mataku dalam-dalam. Kugenggam tangannya erat.

Akhi, bagaimana jika, dahulu Rasulullah berpikiran sama denganmu?”
Mungkin saat terguncang jiwanya demi menyaksikan para sahabat tercinta yang didera siksa oleh para kafir Quraisy
Atau saat ia bersujud di depan Ka’bah dan dijerat lehernya dengan temali yang kasar, diletakkan kotoran unta di atas punggungnya, lalu anandanya datang menangis tersedu kepadanya, tapi ia justru berkata, “Anakku, Allah bersama ayahmu…”
Mungkin waktu ia dicecar oleh kerikil dari para bocah Thaif. Lalu berdarah-darah tubuhnya, dan gerimis perasaannya
Atau saat diludahi tepat di wajahnya, atau waktu diletakkan kotoran di depan pintu rumahnya
Atau saat kaumnya merencanakan pembantaiannya dan ia harus meninggalkan kampung halamannya yang tercinta?
Akhiku yang jiwanya sedang meragu,
Bukankah Rasulullah punya alasan yang lebih kuat darimu?
Tapi pernahkah kau jumpai ia dalam sesal sebab telah terpilih menjadi seorang Rasul?
Pernahkah kau temukan sirah dimana ia mengeluh dan memilih untuk berhenti menyampaikan risalah ini?
Pernahkah akhi? Pernahkah….?

Lalu dengan sisa-sisa keyakinannya,ia kembali berhujjah dengan bibir yang gemetar,
“Tapi aku tak pantas berada di jalan dakwah ini,akhi…” katanya
Maka kueratkan kembali dekapanku. Meski berat rasanya, kucoba sadarkan nuraninya yang mungkin sedang dilanda kalut, kukatakan padanya:
"Kau pikir siapa yang sanggup menanggung amanah ini?
Amanah yang bahkan bumi, langit, dan gunung pun enggan mengembannya?
Amanah yang dahulu hanya diperuntukkan bagi para Nabi dan Rasul yang suci jiwanya?
Sebuah beban yang beratnya adalah nyata, yang jalannya sepi dan penuh duri. Yang dengannya harus tercurah segala milik diri.
Kau pikir siapa yang sanggup untuk mempertanggungjawabkan jiwa-jiwa yang kita tunjukkan jalan cahaya ini?
Mempertanggungjawabkan semua dakwah yang kadang tidak mendakwai diri kita sendiri?
Mempertanggungjawabkan semua ucap yang keluar dari lisan-lisan kita, lalu bergidik mendengarkan ayat Allah yang menghujam kita dengan peringatan…
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (QS. Al Shaff: 2-3)
Kau pikir siapa yang sanggup berdiri di hadapan Allah kelak, dengan semua alasan yang kini sering kita keluhkan pada orang yang memimpin kita?
Semua pembenaran atas ketidakmampuan kita untuk bertahan lebih kuat?
Dan berbagai amanah yang kita mangkir darinya?
Kau pikir siapa yang sanggup, wahai akhifillah???

Akhi, duduklah sejenak. Temukan dirimu yang masih dalam semburat cahaya hidayah. Dapati dirimu bahwa kalaupun kau mundur, maka tidak banyak yang akan berubah, bukankah Allah telah menjanjikan kemenangan?
Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi. (QS. Al Fath: 28)
Kemenangan yang pasti, dengan atau tanpa kita. Lalu posisi kosong akan selalu diisi oleh generasi yang lebih indah akhlaknya. Yang lebih mantap ilmunya. Yang lebih teguh keyakinannya. Dan yang lebih percaya pada semua kemuliaan yang telah dijaminkan Allah untuknya."

Hening sesaat. Kubiarkan kalimat itu meresap.

"Akhi, tetaplah berjuang, seberapa berat apapun ia. Sebab kita telah berjanji untuk tetap saling bergandeng dalam suka dan duka. Dalam dekap ukhuwah. Dalam untai doa penuh cinta. Dan biarlah Allah saja yang menentukan, jiwa-jiwa yang pantas untuk menjadi penolong agamanya. Wallahu a’lam."

Lalu ia pun diam tergugu berguncang bahu...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar