Kamis, 04 Juni 2015

anonim

Gelisah. Berulangkali gadis itu mengetuk-ngetuk lembaran kertas kosongnya dengan ujung pena. Ingin rasanya ia mulai menggoreskan kata yang saat ini tengah berkecamuk di otaknya. Namun urung.

Bukan. Masalahnya bukan pada kata pertama apa yang hendak ia punguti untuk memulainya. Tapi masalahnya ada pada dirinya. Haruskah ini ia tulis?

Orang-orang melihat gadis itu baik-baik saja. Ceria. Tak ada apapun yang menyesakkan pikirannya. Tapi kesunyian membantahnya. Haruskah suara kesunyian ini ia tulis?

Haruskah ia tulis bagaimana rasanya saat ada seseorang yang ia kira tak peduli sama sekali padanya ternyata adalah orang yang paling sering menyebut namanya di dalam doanya?

Haruskah ia tulis bagaimana rasanya saat ada seseorang yang menulis begitu dalam dan indahnya dan ia kira itu untuk orang lain ternyata untuknya?

Haruskah ia tulis bagaimana rasanya?

Gadis itu hanya bisa menghela nafas panjang. Urung sudah ia menuliskan apa yang ada dipikirannya. Percuma. Kau tak akan tau bagaimana rasanya. Gumamnya layu. Lalu ia putuskan untuk meletakkan  penanya begitu saja dan menutup bukunya rapat-rapat. Satu satunya yang masih ia khawatirkan adalah degup jantungnya yang tak hentinya memecah kesunyian malam. Bahkan jarum jam pun tak sanggup untuk mengejarnya.

Maret 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar